Salurindu-Tabulahang
terpisah Salurindu dari Tabulahang.
bukan lantaran cinta tak rindu lagi.
Rante Bulahang tenggelam dalam dendam kesumat-berkarat,
tak ingin membuka pintu-pintu rumah yang tengah mengeropos.
cinta tak berbuah dimana-mana. kekeringan dan rindu dendam mengayunkan amarah
meniti pinggang bukit, menuruni lembah-lembah, mencium embun basah
di pucuk-pucuk pohon. maka rindu tak terbayarkan, janji tak tertunaikan.
lantaran cinta yang tak berpihak itu, maka sumpah janji bagi hidup orang Salurindu
dan orang Tabulahang seharusnya berbuah cinta dan kasih sayang.
maka Sungai Salurindu harus mengalir ke Tabulahang.
maka kini cinta Salurindu dan Tabulahang berlabuh di bukit-bukit dan di batu pecah air,
antara Salurindu dan Tabulahang.
/Mamasa-Jakarta, 09-11
Kepada Karaeng
di depanku
masih berdiri kokoh Lae-Lae
menumbuhkan seribu pucuk kelapa
melambai, memanggil-manggil para nelayan
agar bergegas melabuhkan perahu kepenatan
diantara gejolak rindu pepasir menghampar.
depanku
masih berdiri kokoh Kahyangan
tersenyum diantara kepak burung camar
hanya angin dan ombak kecil
yang datang sesekali menampar-nampar bibir pantai
lalu surut lagi ke keluasan laut biru.
di depanku, nun diantara kemilau
kecipak air laut selat Makassar
Samolana mengapung di antara senja
dan bayang-bayang malam yang hampir datang
mendekat, mendekap, memeluk kita di Losari
yang tak lagi berpasir kini.
Karaeng, hari ini, aku tiba lagi di kotamu
seusai aku menuntaskan perjalanan
:letih dan lesuh terus mengurungku
hingga segala jarak dan arah mengalah
hingga rindu dendam tak jadi beku.
Karaeng !
“Apa kareba Karaeng?”
inilah Mangkasar yang dulu kau bangun dengan airmata
lewat desah-resah yang tak terbalaskan.
Karaeng, lihatlah !
aku berjalan di sepanjang pantai Losari
memunguti air mataku sendiri begini
: tak ada lagi pepasir yang mengurung kakiku
sebagaimana dulu ketika kau memilih kota ini
menjadi pusat peradaban Gowa Tallo.
lihatlah, Karaeng !
senja memang masih indah
tetapi kulihat, tak ada lagi burung camar yang melintas
menampar dan menabrak layar para pelaut
juga tak satupun kapal Pinisi yang melintas mengurai gelombang
mendendangkan lagu Anging Mammiri.
Oi, inikah kota Mengkasar yang kini jadi Makassar?
kota yang memepertaruhkan Sultan Hasanudin
dan mengantarnya hingga ke batu penghabisan.
Karaeng !
di depan Fort Roterdam
hari ini aku berdiri di tanahmu, kucari lagi kau
kupanjat dan kudaki lagi satu persatu
setiap sudut benteng Fort Roterdam ini,
dan kulihat kau datang berlayar
berlayar di antara deburan putih ombak dan burung camar
membelah selat Makassar diselah Lae-lae dan Kahyangan
kulihat kau berdiri berjaga di ujung Pinisimu,
lalu aku menyambutmu, kukatakan:
“Hei, Karaeng datang…Karaeng datang…!” kataku
kulihat wajahmu memerah darah
kau cabut badik dari warangkanya di pinggang kirimu
lalu kau tikam langit.
Seketika itu, langit berguguran, awan berjatuhan,
pohon-pohon kelapa tumbang, bersujud di pantai
menyambut hadirmu, dan kukatakan padamu:
“Salamakki datang Karaeng di kota Mangkasara’ !”
tapi langit terus berguguran, hujan turun seketika, dan air pun datang,
banjir pun tiba, kita tiba-tiba saja tenggelam, Makassar tenggelam,
semua tenggelam, tumpah hingga ke rongga dada kita yang hampa.
Karaeng, sudahlah, Karaeng !
ampunkan kami, Karaeng, maafkanlah Karaeng !
inilah kami anak-anakmu yang tak tahu
dari mana tanah Mengkasar ini dimulai
sudahlah Karaeng, sudahlah, jangan marah lagi
beri kami waktu untuk berbaik diri.
Karaeng, sungguh kami tahu
inilah Makassar tanahmu
tanah, dimana kami anak cucumu belajar pada waktu
yang selalu kami sia-siakan.
Karaeng !
pada hari yang kesekian ini, aku berdiri lagi ditanahmu
: di depan Fort Roterdam, aku menangis, dadaku sesak
dan aku muntah. “Lihatlah, Karaeng !”
hutan-hutan bakau yang dulu berderet-deret manis
di sepanjang pantai Tanjung Bunga, kini telah digantikan
dengan pilar-pilar dan mercusuar, beton-beton yang nancap hingga perut bumi,
tiang-tiang listrik, lampu-lampu taman. Tak ada lagi hutan bakau
yang mampu menghalau badai dan tsunami jika sekali waktu datang
menjemput Kota Makassar yang kian sesak.
Karaeng, lihatlah Makassar
hari ini seribu bidadari melintas di depanku,
di depan benteng Fort Roterdam, mereka menjajakan tubuhnya,
kadang bertelanjang dada, kadang juga keindahan yang semu.
dan aku malu, malu pada Karaeng, sebab inilah
wajah anak-anakmu kini.
Yah, demikianlah Karaeng
bersama sisa senja dan sepotong rokokku yang hampir pupus dan habis,
ingin kukenang lagi kota-kotamu, Makassar, biar esok pagi,
matahari tetap cerah, Karebosi dan Lompo Battang
tetap menyimpan sisa sejarah yang hampir putus, terseok-seok
di sepanjang jalan kota Makassar, lantaran kutahu
hidup dan cintaku pada kotamu
bukan milik kita lagi, pasti.
/Fort Roterdam, Makassar, 01-11
Sekilas Tentang Penulis:
Bustan Basir Maras, bekerja sebagai pengajar di dua universitas di Yogyakarta, chief editor Goeboek Indonesia-Annora Media Group, membina sejumlah komunitas di Yogyakarta dan Mandar-Sulbar. Sajaknya dimuat di sejumlah media lokal dan nasional. Beberapa bukunya yang sudah terbit, antara lain Mata Air Mata Darah (Puisi), Negeri Anak Mandar (puisi), Damarcinna dan Ziarah Mandar (kumpulan cerpen), Paqbandangang-Peppio (catatan etnografi) dan lain-lain. Pendidikan terkhirnya ia selesaikan di Pascasarjana, Jur. Antropologi, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Email: annoramedia@ymail.com.