Laporan: Ulva Tia Saoja, Mahasiswa Unasman
Wikipedia.com, menyebutkan bahwa Suku Mandar adalah suku yang menempati wilayah Sulawesi Barat, serta sebagian Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Populasi Suku Mandar dengan jumlah signifikan juga dapat ditemui di luar Pulau Sulawesi, contohnya di Pulau Kalimantan.
Dari laman https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/Saiyang -pattudduq-kuda-menari-di-tanah-mandar/, Disebutkan bahwa salah satu kebudayaan khas yang berasal dari Suku Mandar di Sulawesi Barat adalah Saiyang pattudduq. Saiyang yang dalam bahasa Mandar artinya adalah kuda, dan Pattuddu yang artinya menari. Saiyang Pattuqduq adalah sebuah tradisi di tanah mandar yang menjadikan kuda sebagai tunggangan dan akan menari saat mendengar alunan musik Parrawana. Parrawana sendiri adalah sekelompok orang yang memainkan alat musik rebana dengan berirama agar kuda-kuda yang mendengarkan musiknya menari.
Sejarah dimulainya tradisi ini tidak diketahui secara pasti pencipta dan pelaku pertama yang memulai tradisi ini. Namun ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Saiyang Pattuqduq dimulai dari abad ke-14 masehi pada masa pemerintahan raja pertama Kerajaan Balanipa. Dikatakan bahwa pada saat itu kuda adalah satu-satunya alat trasportasi darat dan masyarakat ingin menjdikannya sarana hiburan (kemendikbud.go.id)
Masih dari laman kemendikbud.go.id bahwa pada sumber yang berbeda mengatakan juga Saiyang Pattuqduq baru dimulai pada abad ke-16 saat Islam sudah menjadi agama resmi di beberapa kerajaan di Mandar. Dikisahkan bahwa dahulu berkuda sudah menjadi tradisi. Bagi putera bangsawan, keterampilan berkuda menjadi sebuah keharusan. Demikian halnya para santri. Kemampuan untuk membuat kuda patuh kepadanya menjadi salah-satu tolok ukur keberhasilan seorang santri untuk menamatkan pengajian. Karenanya, para santri melatih dan mendidik kuda untuk bergerak mengikuti alunan nada rebana dan senandung sholawat. Dari sinilah Saiyang Pattuqduq mulai berkembang dan dimainkan dalam upacara ritual yang berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Dalam perkembangannya, Saiyang Pattuqduq menjadi tradisi untuk penamatan Al-Qur’an. Jadi seorang anak yang telah menamatkan Al-Qur’an 30 Juz akan diarak menunggangi Saiyang Pattuqduq dan dibawa keliling kampung untuk disaksikan oleh masyarakat.
Dilansir dari neliti.com bahwa, seiring dengan perkembangan zaman, fungsi Saiyang pattuduq juga semakin bergeser. Tidak hanya untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dan khatam Al-Qur’an, namun juga sering dilaksanakan untuk menyambut para tokoh-tokoh atau wisatawan yang berkunjung ke Tanah Mandar. Hingga sekarang Saiyang Pattuqduq menjadi sebuah identitas kedaerahan.
Menjadi pertanyaan kepada khalayak yang masih awam tentang bagaimana kuda itu menari? Jadi, dalam atraksi Saiyang Pattuqduq kuda akan bergoyang-goyang kepalanya dan bergerak mengikuti alunan tabuhan para Parrawana. Lalu di atas punggungnya akan duduk seorang gadis dengan posisi khusus yaitu lutut kaki kanannya akan ditegakkan dan tangan kanannya ditopangkan di atas lututnya yang tegak sambil memegang kipas. Dan kaki lainnya akan ditekukkan ke belakang dan lututnya menghadap ke depan.
Kuda-kuda akan dihias sedemikian rupa agar terlihat cantik dan menawan, begitu pula dengan gadis yang menungganginya dengan memakai pakaian adat Mandar. Tidak hanya gadis, namun juga para laki-laki yang masih tergolong anak-anak dan remaja, juga bisa menunggangi Saiyang Pattuddu. Lalu, di belakang penunggang kuda akan ada satu orang yang berjaga-jaga manakala kuda sulit dikendalikan geraknya. Serta satu orang pula yang memegang payung kehormatan untuk si penunggang.
Saat rebana mulai ditabuh, kuda akan menggoyang-goyangkan kepalanya dan menghentak-hentakkan kakinya dan sesekali mengangkat badannya ke udara. Jika kuda sudah menari, suara gemericing dari hiasan kuda serta hentakan kaki dan alunan rebana akan menambah meriahnya tradisi Saiyang Pattuqduq dan mengundang khalayak ramai untuk menyaksikannya.
Sesekali, alunan suara tabuhan rebana akan diselingi dengan sayair-syair yang dilantunkan oleh Pakkalindaqdaq. Pakkalindaqdaq sendiri adalah seseorang yang melantunkan syair-syair yang berisi nasehat tentang kehidupan.
Tradisi Saiyang Pattuqduq telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional oleh Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2013 dengan nomor penetapan 201300046 dengan domain seni pertunjukan (kemendikbud.go.id).
Sebagai tradisi yang terus dilaksanakan, secara tidak langsung ia akan menjadi sebuah identitas masyarakat setempat. Dengan demikian tradisi ini telah menjadi milik rakyat Indonesia dan menjadi tanggung jawab kita bersama untuk melstarikannya.
Namun, kita tahu bahwa kondisi saat ini yang masih dalam keadaan pandemik Covid-19, sangat tidak memungkinkan menggelar tradisi Saiyang Pattuqdduq, sehingga tradisi Saiyang Pattuqduq untuk tahun 2020 ini tidak dilaksanakan, mengingat imbauan dari pemerintah untuk tidak berkumpul dan mengumpulkan massa. Mari kita berdo’a saja agar pandemik ini segera berakhir dan tradisi Saiyang Pattuqduq akan kembali dilaksanakan.
Foto Utama: Festival Saeyyang Pattuqduq, tahun 2015 di Tinambung (Foto: Yudi)