Resensi Buku: Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme

Oleh: Naspadina, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta/Kontributor mandarnesia.com dari Yogyakarta
Oleh: Naspadina, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta/Kontributor mandarnesia.com dari Yogyakarta

PADA 2019, dalam satu kelas Fotografi jurnalistik di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, seorang dosen menuturkan sebuah kisah disertai dengan penayangan gambar-gambar berbicara. Salah satu potret paling menarik ialah bencana tsunami di Aceh beberapa tahun yang lalu.

Selain komposisi warna dan gelap terang, unsur terpenting dalam fotografi jurnalistik ialah tentang bagaimana seorang fotografer mampu menghadirkan suatu peristiwa melalui foto yang diambilnya. Sebuah kalimat pembuka sebelum ia memulai ceritanya. Melanjutkan penuturannya, ia lantas mengisahkan tentang peristiwa yang berada dibalik gambar yang ditampilkan. Kisah fotografer Bedu Saini yang kehilangan dua anak dan ibunya saat mengabadikan moment bencana tsunami di Aceh.

Kisah yang sama diabadikan dalam buku yang berjudul “Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme: Kesaksian dari Tanah Bencana” yang mengangkat pengalaman fotografer harian Serambi Indonesia, Bedu Sainidengan kamera Nikon D 100 yang mengabadikan foto-foto musibah gempa bumi berkekuatan 8,9 Skala Richter pada 24 Desember 2004. Hasilnya, berpuluh-puluh foto bercerita dihasilkan.

Bedu Saini sendiri merupakan korban dari bencana maha dahsyat tersebut. Istri Bedu Saini mengisahkan dua buah hatinya dan ibunya raib diseret hempasan gelombang tsunami. Kisah Bedu Saini saat menjalankan profesi jurnalisnya dalam bencana tersebut merupakan salah satu dari enam bagian cerita dirangkum dalam buku ini.

Bagi sebagian besar pewarta masih memegang pandangan bahwa informasi yang paling menarik dan dibutuhkan manusia ialah sesuatu yang dekat dengannya, begitu pula soal musibah. Berkat keberanian dan pengorbanan besarnya, Bedu Saini berhasil mengabadikan peristiwa penting dunia yang akhirnya dipertontonkan di satu pameran dengan tema, “A Day to Remeber 26 Desember 2004: Tragedi, kematian, air mata, dan doa. Mengingat mereka yang binasa, menghormati mereka yang selamat dari tsunami Aceh dan rasa hormat yang dalam kepada dunia, jurnalis dan perkerja kemanusiaan.”

Meski demikian, meliput suatu peristiwa tidak melulu soal unsur menarik dan seberapa besar warta itu dibutuhkan. Akan tetapi juga tentang kemungkinan-kemungkinan dan segala konsikuensi yang dapat terjadi terhadap wartawan di lapangan.

Dalam buku ini, Ahmad Arif, wartawan kompas, juga mengisahkan pengalaman saat meliput bencana di Aceh. Gempa di Sumatera Barat dan Yogyakarta, serta korban lumpur PT Lapindo Bratas di Sidorejo Jawa Timur. Ia mengungkapkan beragam dilema dihadapi wartawan di tempat bencana dari detik-detik meliput, wartawan sebagai korban, saksi, serta pelopor bencana.

Foto: Screenshoot dari https://ebooks.gramedia.com/

Buku ini juga menyorot tentang siaran televisi yang terlalu “vulgar” terhadap korban bencana, yang menampilkan gambar-gambar korban tanpa sensor. Ini seperti pada kasus mayat-mayat korban gempa di Sumatera Barat yang ditayangkan secara vulgar dan sadis di televisi.

Hasil dari publikasi yang berulang-ulang melahirkan masyarakat sindrom compassion fatigue atau bebal dan tak acuh terhadap berita bencana. Pemberitaan yang vulgar menyebabkan warga kehilangan kepedulian terhadap nestapa di belahan dunia lain. Kisah-kisah yang sarat air mata menjadi berita baik bagi media. Rating dan oplah bisa melonjak begitu media melirik pada tema bencana, perang, kematian. Karena itu pula buku ini mengkritisi peliputan bencana tak berpihak kepada korban, namun hanya memenuhi logika bisnis dan rating media.

Dengan kejujuran jurnalismenya, Ahmad Arif membuat otokritik. Memeriksa cara kerja jurnalis dan sikap media dalam mengungkapkan fakta bencana, kenyataan setelah musibah berlalu, serta nasib manusia di dalamnya. Buku ini berpesan bahwa laporan jurnalistik bukanlah komoditi yang diproduksi dengan pertimbangan layak jual semata.

Jurnalisme adalah pengungkapan fakta yang didedikasikan untuk manusia dan kemanusiaan. Ketika menghimpun fakta itu, memahaminya, dan merekonstruksinya dengan kata-kata. Ahmad Arif, wartawan muda penulis buku ini, bekerja tidak sekedar dengan panca indra. Dia bekerja dengan nuraninya.

Melalui buku ini Ahmad Arif-pun menyampaikan perasaannya dengan gaya tutur yang mudah dipahami. Kecakapannya dalam menarasikan suatu peristiwa mampu menghadirkan pembaca seolah-olah berperan sebagai aktor yang turut terlibat di dalamnya.

Ahmad Arif paham betul bagaimana perasaan para korban bencana tersebut. Berada dalam jangkauan lempengan kulit bumi yang terus bergerak dan cincin api aktif di kepulauan sumatra,memaksa mereka untuk terus belajar arti penting penyelamatan dan, di atas itu semua, bagaimana memulihkan akibat yang ditimbulkannya. Urusan mereka ternyata bukan hanya petaka itu sendiri, tetapi pula unsur lain yang telah ikut campur membuat daya rusak lebih hebat dan menghadirkan traumatik yang panjang.

Selain itu, ia juga menulis berbagai trik meliput di daerah bencana. Misalnya wartawan yang dikirim ke daerah bencana dilengkapi dengan dasar-dasar pengetahuan bertahan hidup di kawasan bersarana minim, tidak memaksa wawancara korban bila mereka menolak, tidak mencecer korban dengan pertanyaan sulit, memahami setiap orang di lokasi bencana yang sudah kehilangan harta dan lain-lain berada pada nadir yang gampang marah, lelah, dan trauma.

Dalam kondisi demikian, ia menyarankan untuk mencari narasumber baru yang belum banyak diwawancarai wartawan, sebab semakin sering diwawancara, semakin sensitif pula. Variasi narasumber jenis kelamin yang berbeda usia dan berbagai latar belakang sosial memperkaya warna liputan. Suara perempuan dan anak-anak kadang sangat mengejutkan dan bisa membawa pesan mendalam.

Buku ini sangat menarik untuk dibaca. Selain karena gaya bertutur sang penulis yang cukup efektif. Nilai plus juga terdapat pada keterlibatan langsung penulisnya di lapangan saat melliput suatu bencana. Ahmad Arif merekam peristiwa dengan begitu hati-hati, mecatat dengan detil, recording, menyelami nurani korban, membuat riset, lalu kemudian melaporkannya kembali dengan konteks yang kuat. Kemampuannya dalam menggabungkan reportase dengan gaya narative dengan problematika yang diungkapnya secara kritis, membuat buku ini layak dibaca oleh semua kalangan terutama untuk para jurnalis dan praktisi media.[]

 

Judul: Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme: Kesaksian dari Tanah Bencana.

Penulis: Ahmad Arif

Penyunting: Salomo Simanungkalit dan Christina M. Udiani

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Tebal: xxiv + 193 hlm. ; 13,5 cm x 20 cm.