Rapor Telah Dibagi, Kecemasan Baru Dimulai

oleh
oleh

Oleh: Muhammad Yusuf J (Anggota IGI Majene)

Asesmen akhir semester telah usai. Nilai dituntaskan, rapor dibagikan, dan sekolah menutup semester dengan tradisi yang hampir selalu sama: makan-makan sederhana sebagai penanda lega kolektif. Tak lama setelah itu, libur semester datang—dua pekan jeda yang bertepatan dengan perayaan Natal dan Tahun Baru.

Bagi banyak orang, libur adalah ruang untuk bernafas. Bagi sebagian guru, ia lebih menyerupai jeda dari rutinitas administratif, bukan jeda dari pikiran. Sebab pekerjaan mengajar sejatinya tidak sepenuhnya berhenti ketika bel sekolah berhenti berbunyi. Ia terus bekerja dalam kepala: dalam ingatan, dalam kecemasan, dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah selesai.

Hari pertama liburan itu saya lalui tanpa bepergian ke mana pun. Gerimis turun pelan, seolah sengaja menahan langkah. Saya pun larut dalam semacam pertapaan batin—sebuah gua perenungan. Dalam keheningan itu, wajah-wajah siswa datang silih berganti. Ada yang tersenyum dan menyapa, ada yang berteriak dan berlari, ada yang membaca dan berdiskusi, ada yang berkelahi, menyendiri, bahkan ada yang pandai berpura-pura baik-baik saja. Mereka hadir tanpa dipanggil, memenuhi ruang pikir saya.

Dari sanalah pertanyaan-pertanyaan mulai mengetuk. Apakah mereka kelak siap menjalani hidup hanya dengan bekal angka-angka di rapor dan label peringkat di kelas? Ataukah sebagian dari mereka akan terhempas oleh gelombang kehidupan karena tidak pernah benar-benar diajari cara bernalar, bertahan, dan memaknai hidup?

Pengetahuan sekolah sering kali disajikan dengan kemasan yang rapi dan citra yang indah. Namun, apakah kemasan itu cukup kuat untuk menuntun anak-anak memahami hidup yang sesungguhnya—hidup yang tak selalu menyediakan pilihan jawaban, hidup yang tak memberi instruksi “pilihlah satu jawaban yang paling benar”?

Belakangan ini, berbagai peristiwa tragis mencuat ke permukaan: anak-anak hingga orang dewasa yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Pertanyaan yang mengganggu pun muncul: apakah ini pertanda kegagalan kolektif kita dalam membekali generasi dengan pemahaman tentang makna hidup? Dan jika iya, di manakah posisi pendidikan dalam rangkaian kegagalan itu?

Di ruang-ruang kelas, kita terlalu sering sibuk dengan soal-soal pilihan ganda—a, b, c, dan d—serta isian titik-titik yang menuntut jawaban tunggal. Kita menyediakan jawaban, tetapi jarang memberi ruang bernalar. Siswa pun belajar menebak, bahkan mengundi. Padahal kehidupan nyata tidak pernah datang dengan opsi jawaban yang sudah disiapkan.

Ketika jawaban tidak tersedia, siswa dihadapkan pada dua kemungkinan: diam atau salah. Keduanya melahirkan rasa bersalah dan kecemasan. Ironisnya, kecemasan itu kerap diredam dengan pembenaran kolektif: “teman saya juga tidak bisa.” Dari situlah kegagalan dinormalisasi, dan kecemasan perlahan menjadi milik bersama.

Tanpa disadari, di situlah benih kecemasan kolektif mulai tumbuh. (*)