Oleh: Karmila Bakri, Polewali
RAHMA (25) atau Rahmawati (25) perempuan tuna wicara akrabnya disapa I Pepe (si bisu) di kampungnya. Ia berdomisili di Dusun Readara, Desa Pasiang, Kecamatan Matakali, Kabupaten Polman. Rahma memiliki dua putri yang duduk di bangku sekolah dasar. Bisu sejak lahir bukanlah penghalang baginya untuk beraktivitas.
Usianya masih energik, fisiknya kuat. Rahma merawat ayahnya, Ahmad (57). Selama 14 tahun ayahnya menderita lumpuh di bagian tangan kanan dan kedua kakinya. Sehingga tidak mampu lagi bekerja menghidupi keluarga. Meratapi nasib di atas kursi kayu yang senantiasa menjadi teman setianya.
Saat anaknya Rahmawati pergi bekerja sebagai buruh kopra, dan kedua cucunya berangkat ke sekolah. Ayah Rahma berdamai dengan keterbatasan fisik akibat kelumpuhan.
Rahmawati dibalik kelemahannya yang tak mampu berkomunikasi normal, menjadikan perempuan tuna wicara ini tegar dan kuat. Ia menjadi anak sekaligus tulang punggung keluarganya.
Menurut tetangga, sekaligus tempatnya bekerja, “I Pepe ini magassing sanna’i me’uja, dalam sehari massukke’ anjoro na messisi anjoro nabutungangi mala maissi dua anna’ tallu karung, dalam seminggu malai napoleang 70.000 doi’ anna’ sappulo karung naissi.”
(Si bisu ini sangat rajin bekerja, dalam sehari mengelupas kulit kelapa dan isi kelapa, dia bisa menghasilkan 1 sampai 2 karung dalam sehari. Sehingga dalam seminggu mampu mencapai 10 karung dengan upah Rp.70.000). Tutur pemilik usaha Kopra.
Rahma sangat peduli juga terhadap pendidikan kedua putrinya, di mana masih duduk di bangku sekolah dasar. Sebelum berangkat bekerja sebagai buruh kopra dia terlebih dulu mengantar kedua putrinya ke sekolah, lalu mengurus rumah dan menyediakan makanan buat ayahnya. Ketika ditanya perihal suaminya, I Pepe hanya mengerutkan dahi dan tak ingin membahasnya, karena yang terpenting adalah bagaimana merawat ayah dan membesarkan putrinya.
Kursi roda adalah kebutuhan mendesak yang harus dimiliki sang ayah, disela-sela wawancara, ayah I Pepe ini berharap ada bantuan kursi roda agar tidak semakin membuat I Pepe kewalahan mengurusnya di rumah. Ia masih bisa diajak berkomunikasi meski sedikit kadang vokalnya tidak begitu jelas artikulasinya, akibat stroke.
Saudara Rahma, ada yang bekerja di Makassar sebagai karyawan toko, Ramlah nama adik satu-satunya itu. Sesekali kadang mengirim uang ke kampung, namun masih saja tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Menurut Ayah I Pepe, “terkadang kami harus mengutang dulu di warung tetangga, nanti ada uang baru bayar.”
Perempuan tulang punggung keluarga ini, sangat menyayangi ayahnya, merawat disela-sela aktivitasnya. Sekali-kali ia juga menjadi buruh cuci.
Ramlah telah membuktikan bahwa dibalik keterbatasan fisik, ada rezeki Tuhan yang harus dijemput dengan berusaha.
“Saya menyayangi ayah, dan anak-anak saya harus berhasil di dunia pendidikan,” kata Rahma seperti terjemah ayahnya.
“Puppusmi tori bate limanna ana’u I Pepe me’uja massukke anjoro, melomi diapa tori apa ita rie andiangmi mala tau me’uja apa kape tau tori. (Lecet telapak tangannya anakku I Pepe akibat kerjaannya mengelupas kulit kelapa. Yah apa boleh buat karena saya tak bisa bekerja akibat kelumpuhan fisik ini),” tutur sang ayah meneteskan air mata.