Oleh: Karmila Bakri (Ketua Yayasan Anak Lontara Nusantara).
Maraknya kasus anak diharapkan Negara hadir bukan sekadar ditahapan rehabilitasi, namun penting meminimalisir ditahapan awal demi mencegah terjadinya kasus anak.
Upaya-upaya pencegahan harus senantiasa digalakkan. Lembaga sekolah, lembaga anak, komunitas anak dan segenap elemen masyarakat senantiasa harus bersinergis melakukan gerakan.
Menjamurnya lembaga-lembaga anak baik formal, non formal, maupun komunitas pemerhati anak diharapkan tidak hanya memoles lembaga dengan visi misinya. Namun penguatan visi misi sebagai tujuan pemenuhan hak-hak anak senantiasa penting untuk dibumikan dalam bentuk gerakan.
Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mulai Januari – April 2019, kasus pelanggaran hak anak banyak ditemukan di tingkatan SD.
Mirisnya di lembaga sekolah ditemukan kasus kejahatan seksual dimana pelakunya adalah oknum guru. Belum lagi berbicara kasus bullyan, kasus anak terjebak mengkonsumsi obat-obat terlarang, dan masih banyak kasus-kasus lainnya.
Ketika ketimpangan perilaku anak terjadi, maka siapa yang patut disalahkan? Keluarga adalah wadah paling utama membentuk karakter, etika dan mental anak.
Jika keluarga juga abai mengedukasi serta mengawasi, sekolah sebagai rumah kedua bagi anak juga tidak mampu mengakomodir. Maka pada saat yang sama tumbuh kembang anak akan mengalami masalah. Benturan lingkungan sosial akan menjadi tantangan tersendiri.
Gonta – ganti kurikulum menjadi santapan di sekolah. Generalisasi sistem dijalankan paksa sampai ke tiap pelosok. Ibarat memaksakan fajar terbit sebelum matahari terbenam.
Lalu bagaimana nasib sekolah-sekolah pelosok. Fasilitas terbatas menjadi kendala sehingga sistem pendidikan menjadi pincang. Belum lagi siswa dijauhkan dari lingkungan sosialnya.
Kurikulum harusnya didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan lokalitas sekolah. Tentu sekolah di perkotaan berbeda dengan pelosok. Baik dari segi topografi wilayah, karakter masyarakat serta budaya lokalitas yang harus menjadi bahan pertimbangan.
Adanya pengklasifikasian sekolah unggulan dan sekolah tidak unggul akan semakin membentangkan jarak antara siswa taraf ekonomi kelas menengah atas dan kelas menengah bawah.
Setiap anak pasti menginginkan sekolah unggulan sebab dilengkapi fasilitas pendidikan yang lengkap. Apatahlagi sistem zonasi semakin membuat batasan bagi siswa memilih sekolah yang dianggap kompeten.
Belum lagi siswa yang dianggap nakal dan bodoh dikeluarkan dari sekolah. Lalu pertanyaan saya sederhana, untuk apa lembaga pendidikan dibangun jika mendapatkan anak yang bermasalah lantas tindakannya adalah mengeluarkan anak tersebut.
Kasus stunting juga adalah masalah serius, ketika gizi anak tidak terpenuhi maka tumbuh kembang kecerdasan anak akan melemah, sehingga menyebabkan IQ rendah. Persoalan kasus pernikahan usia anak juga sering terjadi. Keterlibatan keluarga penting untuk masalah ini, edukasi ke keluarga menjadi tantangan tersendiri.
Penting untuk menelisik lebih jauh faktor-faktor penyebab anak bermasalah baik dari segi kesehatan fisik, mental dan nalarnya. Bukan lantas menjustifikasi dan mendiskriminasi anak.
Setiap anak terlahir dengan potensi, jaga dan rawatlah tumbuh kembang anak sejak dini. Ciptakan lingkungan ramah anak, satu anak adalah tonggak peradaban bangsa.
Selamat Hari Anak Nasional 23 Juli 2019
Mari bersama lindungi hak-hak anak!