Lalu ada Siti Musdah Mulia dengan judul Politik Identitas: Ancaman Terhadap Masa Depan Pluralisme di Indonesia. Kemudian Eric Hiariej dengan judul Pluralisme, Politik Identitas dan Krisis Identitas, lanjut ke Asfinawati tentang HAM, Dialog dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia, Budiman Sudjatmiko Politik Aliran dalam Pancasila: Keniscayaan Sejarah dan Antitesis Fundamentalisme. Yayah Khisbiyah Membangun Harmoni di Masyarakat Plural: Pandangan Psikologi dan Pedagogi Perdamaian dan Tonny D. Pariela Menjadi ”Orang Indonesia”.
Pertanyaannya kemudian adalah: apakah politik identitas ini akan membahayakan posisi nasionalisme dan pluralisme Indonesia di masa depan?
Dalam buku itu juga Buya Safii Maarif menanggapi pandangan Nurcholish Madjid tentang bangsa Indonesia yang serba multi tidak layak untuk dibanggakan. Tetapi untuk mengatakan Indonesia sebagai multietnik dan multiagama tidak unik dan tak perlu dibanggakan, saya perlu memberi beberapa catatan. Dalam kajian saya, bangsa dan negara kepulauan yang terbesar dan terluas hanya terdapat satu di dunia, yaitu Indonesia, sebuah bangsa muda yang belum berusia 100 tahun. Jumlah pulaunya lebih dari 17.000, bahasa lokal dan etnisitas ratusan, agama pun bervariasi: Islam, Kristen/Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan masih ada kepercayaan-ke per cayaan lokal yang tidak dimasukkan dalam daftar resmi peme rintah. Islam yang dipeluk oleh mayoritas penduduk (sekitar 88, 22%),2 dalam sistem iman secara relatif bersifat tunggal, tetapi se bagai ekspresi kultural-intelektual, paham agama, dan lebihlebih politik, ternyata Islam itu sangat majemuk.
Fenomena serupa juga berlaku pada agama-agama lain. Di lingkungan agama Katolik yang secara teologis terlihat lebih kompak, dalam ekspresi politik umat Katolik Indonesia juga tidak tunggal, tetapi plural, apalagi umat Protestan yang terdiri dari aneka sekte. Penganut Budha pun terbentuk dalam tiga sekte, begitu juga Hindu. Inilah fakta sosiologis yang terbentang di depan kita semua. Tetapi setelah bangsa ini merdeka sejak tahun 1945, semua etnisitas dan penganut agama itu toh masih setia kepada Indonesia sebagai bangsanya. Saya rasa ada sesuatu yang unik dan patut dibanggakan di sini, bukan?
Menurut Almarhum Buya Safii Maarif bahwa L.A. Kauffman yang pertama kali menjelaskan hakikat politik identitas dengan melacak asal-muasalnya pada gerakan mahasiswa anti-kekerasan yang dikenal dengan SNCC (the Student Nonviolent Coordinating Committee), sebuah organisasi gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat di awal 1960-an.
Siapa sebenarnya yang menciptakan istilah politik identitas itu pertama kali masih kabur sampai hari ini. Tetapi secara substantif, politik identitas dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Di sinilah ide tentang keadilan untuk semua menjadi sangat relevan. Di Amerika Serikat, para penggagas teori politik identitas berdalil bahwa praktek pemerasanlah yang membangun kesadaran golongan yang diperas, khususnya masyarakat kulit hitam, masyarakat yang berbahasa Spanyol, dan etnis-etnis lainnya yang merasa terpinggirkan oleh roda kapitalisme yang berpihak kepada pemilik modal yang umumnya dikuasai go longan kulit putih tertentu.
Buya Safii Maarif memberikan kesimpulan pada buku itu bahwa Politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara ini di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan tergantung di awangawang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Kesungguhan dan tanggung jawab inilah yang sering benar dipermainkan oleh orang yang larut dalam pragmatisme politik yang tuna-moral dan tuna-visi. Sikap semacam inilah yang menjadi musuh terbesar bagi Indonesia, dulu, sekarang, dan di masa datang.