Perempuan dan Budaya Politik di Mandar

Peran Kaum Perempuan di zaman revolusi kemerdekaan dirasakan sangat strategis. Kesadaran akan pentingnya persatuan Indonesia serta kesadaran kebangsaan bagi kaum perempuan itulah yang mengantarkan organisasi perempuan untuk kemudian mengadakan Kongres Perempuan Indonesia yang dilaksanakan tanggal 22-25 November 1928 di Yogyakarta.

Kongres dilaksanakan dengan bertujuan menyatukan cita-cita serta sebuah keinginan untuk memajukan wanita Indonesia, dan muara dari kongres tersebut telah menghasilkan keputusan untuk membentuk gabungan organisasi wanita yang dinamai Perikatan Perempuan Indonesia (PPI).

Organisasi perempuan di zaman kolonal telah banyak berkontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia dan menginspirasi bagi gerakan kaum perempuan yang tumbuh dan lahir di masa setelah kemerdekaan hingga di masa orde lama saat itu.

Seiring dengan tumbangnya rezim Soeharto, organisasi perempuan semakin mendapat posisi. Perjuangan hak-hak kaum perempuan yang sebelumnya terpasung oleh rezim pemerintahan Soeharto dengan mengatasnamakan kepentingan negara, kian terbuka seluas-luasnya. Berbagai organisasi perempuan tumbuh dan berkembang bagaikan jamur di musim hujan, baik yang terhimpun dalam ormas maupun yang berbentuk yayasan dan lembaga swadaya masyarakat. Partai politik pun tak mau ketinggalan dengan memasukkan unsur perempuan ke dalam bidang organisasi dan membentuk organisasi sayap partai yang dipimpin langsung oleh perempuan.

Sejalan dengan reformasi dan dilakukannya amandemen UUD 1945, komitmen terhadap kaum perempuan makin ditujukan dengan dimuatnya unsur kesetaraan gender dalam bentuk persamaan hak dan kewajiban antarsesama warga negara dalam berbagai bidang kehidupan politik, hukum dan pemerintahan. Keterlibatan organisasi perempuan dalam menyusun draf Amandemen UUD 1945, dan keberadaan kaum perempuan dalam kehidupan makin diperkuat dengan diterbitkannya UU Nomor 39 tahun 1999 yang di dalamnya memuat pasal tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin keterwakilan perempuan di legislatif, eksekutif serta yudikatif.

Dari sinilah kiprah kaum perempuan semakin terbuka seluas-luasnya, meskipun masih juga ada partai politik yang akrab dengan budaya maskulinisme dengan praktek pelaksanaan kegiatan partai di saat tertentu yang menyulitkan bagi kaum perempuan karena kewajiban yang melekat pada perempuan secara tradisional sebagai pendamping suami dan sekaligus menjaga anak-anaknya.

Berbeda dengan laki-laki dalam posisinya sebagai kepala keluarga atau kepala rumah tangga, yang memungkinkan laki-laki secara bebas menentukan keputusan dan tidak mengharuskannya meminta izin dalam hal membelanjakan keuangannya dalam bidang politik.

Desakan tindakan afirmatif dengan memasukkan kuota 30% bagi keberadaan calon anggota legislatif perempuan ke dalam undang-undang pemilu tidak lantas melempangkan jalan mendudukkan perempuan sebagai wakil rakyat. Lanjut ke Halaman 3