Pendidikan Uighur Mulai Mengakar di AS

Laporan : VOA Indonesia

Minggu pagi di Ana Care & Education di Fairfax, Virginia, yang terletak di pinggiran Washington DC. Anak-anak terdengar sedang belajar bahasa ibu mereka, Uighur. Mereka juga mempelajari tari-tarian tradisional Uighur.

Sekolah Minggu Uighur ini adalah sekolah pertama semacam itu di AS. Menurut Sureyya Kashgary, kepala sekolah sekaligus salah seorang pendiri sekolah Ana Care and Education, murid yang belajar di sekolahnya berjumlah sekitar 70-100 orang.

“Ada delapan guru, 80 murid. Tetapi kadang-kadang biss menjadi seratus murid dalam beberapa semester. Kadang-kadang jumlahnya berkurang menjadi 80 atau 70, kira-kira begitulah. Tetapi jumlahnya hampir selalu antara 70 hingga 100,” katanya.

Kashgary pindah ke AS bersama dengan keluarganya pada tahun 1999. Ia dan anak perempuannya memutuskan untuk menggunakan tabungan mereka sendiri untuk mendirikan sekolah tersebut pada tahun 2017. Sekolah tersebut diharapkan akan tetap menghidupkan budaya Uighur setelah China melakukan penindakan keras terhadap warga Uighu

“Mereka membakar buku-buku kami, buku-buku pelajaran. Di sekolah-sekolah, mulai dari TK hingga SMA, mereka sama sekali tidak mengajarkan bahasa Uighur kami,” kata Kashgary.

“Mereka hanya mengajarkan bahasa China. Dan dalam beberapa tahun belakangan, mereka sama sekali tidak ingin kami berbicara dalam bahasa Uighur. Ini sangat, sangat parah, sekarang. Kami hampir kehilangan budaya dan bahasa kami sendiri,” paparnya.

Sekolah Minggu menawarkan pelajaran Bahasa Uighur dalam tiga tingkatan: dasar, menengah dan lanjutan. Tumaris Almas mengajar kelas lanjutan.

“Karena penindakan keras partai komunis China terhadap warga Uighur di tanah air kami, bahkan bahasa kamipun sulit bertahan. Pendidikan di sini menjadi sangat penting bagi keturunan Uighur di luar negeri untuk melestarikan budaya dan bahasa kami. Jadi saya pun mulai mengajar di sini.,” kata Tumaris Almas, seorang guru Bahasa Uighur.

Bagi para siswa yang berada di kelas lanjutan, mereka merasa lebih dari sekadar mempelajari suatu bahasa. Hal tersebut dikemukakan seorang murid kelas lanjutan yang bernama Hemze Kurban.

“Jadi kalau kita belajar bahasa kita, kita tidak akan melupakannya dan dapat meneruskannya kepada anak-anak kita,” katanya.

“Dan saya di sini juga mengambil pelajaran agama Islam. Saya ingin belajar tentang agama saya dan mengetahui bagaimana saya dapat menjadi sosok orang yang lebih baik dan mempelajari bahasa ibu saya serta tempat ibu saya berasal,” tambah siswa lainnya di kelas lanjutan, Ezimet Uyghur.

Itulah kuncinya, mempelajari budaya.

“Budaya utama kami adalah lagu-lagu Uighur beserta tariannya. Setiap keluarga, setiap budaya dan setiap komunitas, anak-anak perempuan tahu caranya menari dan anak-anak lelaki juga demikian,” kata Kashgary.

Suatu laporan yang dirilis oleh Uighur Human Rights Project atau Proyek HAM Uighur menyatakan pemerintah China telah mengintimidasi warga Amerika keturunan Uighur dengan mengancam akan mengirim anggota keluarga mereka di Xinjiang ke kamp-kamp.

Kashgary mengatakan ia telah putus komunikasi dengan saudara-saudara kandungnya di Xinjiang setelah membuka sekolah Ana Care & Education.

“Saya merasa takut, dan kemudian saya khawatir. Saya selalu memikirkan tentang itu. Tetapi saya pikir, apapun yang terjadi, saya harus melanjutkan sekolah ini,” kata Kashgary. [uh/ab]