Reporter: Karmila Bakri
POLEWALI MANDAR mandarnesia.com-Aksi kecaman dari adanya tindakan anarkis razia buku datang dari gabungan pegiat literasi dan seni di Polewali Mandar. Salah satu komunitas dari Budaya Literasi Pinrang dan Sapo-sapo Majene juga ikut bergabung.
Lewat aksi lapak serentak 8 – 10 agustus di Sport Centre, menggelar buku-buku bacaan berbau marxisme, karya-karya Pramoedya Ananta Toer juga menghiasi lapak baca. Masih segar diingatan gerakan anarkis razia buku oleh beberapa oknum di Toko Buku Gramedia Makassar pada sabtu (3/8/2019) lalu.
Kritikan dari adanya aksi razia buku tersebut menimbulkan polemik di komunitas pegiat literasi secara nasional. Baik itu terlihat di kampus-kampus maupun dilingkaran komunitas.
Aksi lapak bersama ini melibatkan beberapa komunitas diantaranya Lattang Literasi, Serikat Pemuda Desa (SEPEDA), Anak Lontara Nusantara (ALTAR), Budaya Literasi Pinrang, KP3B Pulau Battoa, Tunas Muda Mudi Wonomulyo, Sapo-sapo Majene, KOMPASNA, Bala Tau Art, Coffee Literasi, Litera Pandita, Himagrotek Unasman, dan HMJ KPI IAI DDI Polman.
” Bentuk dari propaganda bahwa kehadiran oposisi tidaklah meruntuhkan demokrasi, pelarangan hingga razia buku kiri menandakan minimnya minat baca bangsa kita, lupakah kita bahwa bapak proklamator sangat gandrung akan bacaan kiri?,” Ungkap Untung Wijaya perwakilan dari Komunitas Budaya Literasi Pinrang kepada mandarnesia. Com
“Kiri memang simbol perlawanan, tetapi ingat dengan adanya ideologi kiri kita telah lepas dari kolonialisme, jangan sekali-kali lupakan sejarah pancasila, di mana berawal dari turbulensi ideologi, lapak baca ini sebagai alternatif menyadarkan bangsa kita dalam dunia literasi, sebab tanpa literasi keadilan serta kemajuan bangsa sangat sulit kita raih, ” Tambah Untung Wijaya.
Di lokasi lapak bersama pun diselingi lingkaran diskusi sesama pegiat literasi.
” Penyitaan itu sebenarnya kurang efektif, mengingat semua buku itu menyimpan pelajaran,”. Ungkap Lia perwakilan dari Komunitas Bala Tau Art
” Dilain sisi juga harusnya yang menyita perlu mempertimbangkan kerugian pemilik toko buku, tentu mereka membutuhkan modal untuk pengadaan buku tersebut, ” Pungkas Lia.
Komunitas Coffee Literasi pun angkat bicara, baca buku pun begitu romantis saat ditemani secangkir kopi. ” Aksi solidaritas dalam bentuk lapak baca yang diadakan oleh beberapa pegiat literasi menurut saya adalah salah satu aksi menyebarkan virus membaca di tengah masyarakat, demi meningkatkan budaya membaca apalagi zaman sekarang zaman teknologi, sangat krisis yang namanya minat baca, “. Ungkap Umar owner Coffee Literasi.
” Pelarangan buku adalah kemubaziran sempurna. Di tengah rendahnya minat baca, pelarangan buku adalah kemunduran luar biasa. Indonesia bisa semakin tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang selalu terbuka kepada ide-ide baru dan pengetahuan-pengetahuan baru, “. Tambah Umar
Coffee Literasi pun semakin menuangkan pandangannya, bagaikan menyeduh kopi dengan aroma khas kopi, bercita rasa kopi lokal. “Tindakan pelarangan lapak baca bukan hanya keliru secara prinsip, tapi secara praktik juga sia-sia. Secara prinsipil tidak sejalan dengan demokrasi yang menghargai perbedaan, kebebasan berpendapat dan menjauhkan kita dari amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,”. Tambah Umar.
“Melarang membaca buku sama saja dengan menghalangi upaya mencari, mengolah, dan menyikapi informasi pengetahuan secara bebas dan kritis, “. Tutup Umar.