Pedagogi Demokrasi: Mengantisipasi Polarisasi Politik pada Pemilu

Nuni Nurbayani
Nuni Nurbayani

Oleh: Nuni Nurbayani

Komisioner KPU Garut. Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM.

 

Masih lekat dalam ingatan, bagaimana Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2019 menyisakan polarisasi politik yang sangat berdampak kuat pada masyarakat. Labelisasi cebong dan kampret menjadi sebutan khas pendukung masing-masing kandidat calon presiden saat itu. Perdebatan ini tidak hanya terjadi di media sosial namun juga memasuki ruang-ruang kehidupan sehari-hari.

Mengarah tidak hanya pada kekerasan psikis namun juga fisik. Di Sampang Jawa Timur misalnya, Idris menembak mati Subaidi karena bersitegang (cekcok) di facebook karena beda pilihan presiden. Ketegangan mereda saat turut dilantiknya Prabowo Subianto di Kabinet Indonesia Maju. Namun, tensi politik pilpres 2019 masih menyisakan residu, remah-remahnya masih ditemukan di media sosial. Cebong kampret masih ditemukan di beberapa komentar netizen saat ini.

Penyebab Polarisasi Politik

Ada berbagai penyebab polarisasi politik, antara lain:

Partai Politik. Beberapa ahli berpendapat bahwa partai yang berbeda telah menjadi salah satu pendorong utama polarisasi karena platform kebijakan menjadi semakin jauh.

Seperti yang diutarakan Ur dan Joseph Daniel, teori ini didasarkan pada trend terkini di Kongres Amerika Serikat, dimana partai mayoritas memprioritaskan posisi yang paling selaras dengan platform partai dan ideologi politiknya. Penerapan posisi yang lebih berbeda secara ideologis oleh partai politik dapat menyebabkan polarisasi di antara para elit dan para pemilih.

Publik. Dalam demokrasi dan pemerintahan perwakilan lainnya, warga memilih aktor politik yang akan mewakili mereka. Beberapa ahli berpendapat bahwa polarisasi politik mencerminkan ideologi publik dan preferensi voting. Dixit dan Weibull (2007) menyatakan bahwa polarisasi politik adalah fenomena alam dan biasa.

Mereka berpendapat bahwa ada hubungan antara perbedaan publik dalam ideologi dan polarisasi perwakilan, tetapi peningkatan perbedaan preferensi biasanya bersifat sementara dan pada akhirnya menghasilkan kompromi.

Fernbach, Rogers, Fox dan Sloman (2013) berpendapat bahwa ini adalah hasil dari orang-orang yang memiliki keyakinan berlebihan dalam pemahaman mereka tentang masalah yang kompleks. Morris P. Fiorina (2008) mengemukakan hipotesis bahwa polarisasi adalah fenomena yang tidak berlaku bagi publik, melainkan dirumuskan oleh para komentator untuk menarik perpecahan lebih lanjut dalam pemerintahan. Studi lain menunjukkan bahwa perbedaan budaya berkorelasi.

Media. Media massa telah tumbuh sebagai institusi selama setengah abad terakhir. Ilmuwan politik berpendapat bahwa hal ini terutama mempengaruhi masyarakat pemilih dalam tiga dekade terakhir, karena pemirsa yang sebelumnya kurang partisan diberi pilihan media berita yang lebih terpolarisasi. Lingkungan media massa saat ini, yang terpecah-pecah, dan pilihan tinggi telah mendorong pergerakan penonton dari program politik yang lebih seragam ke siaran dan artikel yang lebih antagonis dan sepihak. Program-program ini cenderung menarik pemirsa partisan yang menonton program terpolarisasi sebagai sumber konfirmasi diri untuk ideologi mereka.