Pandangan Daryono, Potensi Gempa dan Likuifaksi di Sulbar

Reporter: Sudirman Syarif

MAMUJU, mandarnesia.com — Berdasarkan fakta biologi dan tektonik, kawasan Mamuju- Majene Provinsi Sulawesi Barat memiliki tingkat resiko gempa yang sangat tinggi. Karena Sulbar bersebelahan dengan sumber gempa sesar aktif. Yang berarti sesar naik Mamuju.

Jalurnya berada di lepas pantai Sulbar, Selatan sampai di Mandar. Hal tersebut disampaikan Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono dalam diskusi virtual dengan topik Indonesia Waspada Gempa yang juga dihadiri Bupati Mamuju Sitti Sutinah Suhardi sebagai narasumber, Ahad (9/5/2021).

Dalam catatannya, sesar tersebut telah memicu 8 kali gempa. Pertama kali Tahun 1915 kemudian Tahun 1967 dengan kekuatan 6,3 M, gempa cukup besar menimbulkan 58 korban dan memicu tsunami. Kemudian Tahun 1969 terjadi lagi, tapi ke wilayah Majene 6,9 M menimbulkan korban jiwa 64 orang meninggal dunia dan terjadi tsunami.

Kemudian Tahun 1972 kembali gempa, tsunami tapi tidak merusak. Tahun 1984 itu merusak tapi, tsunami kecil, menurut kajian BMKG ada 107 luka-luka saat itu.

Ia menjelaskan, gempa Majene-Mamuju Januari lalu, sebenarnya sudah terjadi gempa merusak 5,3 M Tahun 2020 Bulan November di Mamuju Tengah. Kemudian pada tanggal 14 Januari 5,9 M yang menjadi gempa pembuka, yang kemudian dilanjutkan dengan gempa utama 6,2 M.

“Ini adalah bukti bahwa Sulawesi Barat itu memiliki frekuensi kejadian gempa yang cukup intensif. Data gempa kita sangat pendek, sehingga kita baru bisa mencatat kegempaan Tahun 1915. Karena sebelumnya, kita tidak memiliki catatan 1915. Ini adalah sebuah fenomena yang harus kita waspadai,” ungkapnya.

Karena sambung dia, memang sumber gempa sesar naik Mamuju cukup aktif. Kapanpun akan terus berulang menuju gempa seperti ini, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, dari sebuah resiko yang dihadapi. Tetapi masih bisa hidup nyaman dan aman dengan mengikuti upaya mitigasi.

Kaitan apakah di Sulbar berpotensi gempa megathurs, ia menyampaikan, di Sulawesi Barat tidak ada megathurs. Yang ada cuma di Sulawesi Utara dengan megathurs berkekuatan 8,5 M. Tetapi untuk di Sulbar, itu hanya sesar aktif yang berupa sesar naik, yang dalam tatanan sejarah sudah terjadi 8 kali gempa merusak.

“Dan ini memang kita waspadai terus, dan masyarakat juga harus memahami sumber gempa ini, terkait dengan sejarah gempa. Karena dengan memahami sejarah kegempaan, akan menimbulkan kesiapsiagaan. Mitigasi, penataan bangunan ramah gempa, dan tidak membangun rumah dekat pantai,” tutur dia.

Berdasarkan data yang disampaikan Daryono, gempa yang terjadi pada 23 Februari 1969 pagi pukul 8.37 Wita, dengan magnitudo 6,9 lokasi episenter di laut 74 KM arah Barat laut Majene kedalaman 15 KM. Dampak gempa mencapai skala intensitas VII-VIII MMI. Gempa merusak rumah dan dermaga pelabuhan di sepanjang pesisir Majene hingga Mamuju.

Gempa dengan mekanisme sesar naik ini memicu tsunami 4 meter di Malunda dan 1,5 meter di Tubo. Merusak dan menghanyutkan rumah-rumah kayu dan merusak perkebunan. Tsunami menelan korban jiwa 64 orang meninggal dan 97 orang luka-luka serta merusak 1.287 rumah.

Adapun untuk potensi likuifaksi di Rimuku, perlu ada kajian mendalam terkait dengan informasi tersebut. Karena likuifaksi jelas Daryono memiliki derajat intensitas yang berbeda-beda. Tidak semua likuifaksi terjadi seperti di Petobo dan Balaroa, Palu. Di daerah lain ada fenomena yang hanya muncul berupa pasir.

Yang perlu didalami lagi, apakah di Rimuku memang daerah rawa-rawa, kemudian banyak tumbuh tumbuhan vegetasi rawa, seperti eceng gondok, teratai dan lain. Kalau memang itu ada, memang perlu diwaspadai.

“Karena itu kawasan likuifaksi. Karena di situ pasti terdapat air tanah, potensial dengan kondisi tanah yang lunak. Sehingga jika terjadi guncangan, terjadi proses dimana tanah itu berubah menjadi lumpur. Sehingga terjadi reaksi, tetapi saya sendiri belum melihat di lapangan. Sehingga saya belum bisa memastikan apakah berpotensi terjadi likuifaksi masif atau hanya likuifaksi lokal,” ungkapnya.

Ia menutup penjelasan, bencana tidak bisa ditolak, tsunami tidak bisa ditolak, tapi manusia memiliki akal budi, bagaimana mengurangi risikonya, sehingga mau tidak harus melakukan mitigasi.