Palasara dan Kebangkitan Marwah Suku-Bangsa Sulselbar

oleh
oleh
Dok AFM: Foto Palasara

Oleh : Andi Fahri Makkasau, Sekjen Palasara Indonesia

Suku-bangsa Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja bukanlah komunitas pinggiran dalam sejarah Nusantara. Mereka adalah pelaku utama peradaban maritim, perdagangan antarbangsa, diplomasi politik, dan pembentuk sistem nilai yang mengakar kuat jauh sebelum lahirnya negara modern Indonesia.

Lontara, sistem adat, hukum kerajaan, dan jaringan pelayaran lintas samudra membuktikan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan dan Barat sejak awal berdiri sebagai bangsa yang sadar akan martabat, kedaulatan, dan tanggung jawab sejarahnya.

Dalam sejarah Nusantara, para Karaeng, Arung, Datu, Addatuang, Opu, Arajang, Maraddia, Maraddia dan Tomakaka bukan sekadar pemimpin lokal, melainkan pengelola peradaban.

Mereka membangun tata pemerintahan, sistem hukum adat, struktur sosial, dan jaringan hubungan antarwilayah yang menjadikan Sulawesi Selatan dan Barat sebagai simpul penting dunia Melayu-Nusantara. Prinsip seperti siri’ na pacce, ade’, bicara, rapang, wari, dan sara’ bukan hanya etika sosial, tetapi fondasi epistemologis bagi tata kelola masyarakat yang beradab.

Namun sejarah panjang itu tidak selalu dibaca dengan jernih pada masa kini. Modernitas sering membuat bangsa besar kehilangan kepercayaan diri. Suku-bangsa yang dulu memimpin peradaban justru diajak menjadi pengekor, bahkan terjebak dalam narasi bahwa mereka harus tunduk pada tafsir luar tentang jati diri mereka sendiri.

Ketika adat direduksi menjadi folklor, ketika bangsawan dipersempit menjadi simbol tanpa makna, maka yang tergerus bukan hanya tradisi, tetapi harga diri kolektif.

Di titik inilah Palasara Indonesia hadir bukan sebagai organisasi seremonial, melainkan sebagai gerakan pemulihan martabat. Palasara berdiri atas kesadaran bahwa adat, sejarah, dan genealogi bukan beban masa lalu, melainkan sumber kekuatan masa depan.

Ia tidak dibangun untuk menyaingi kerajaan, lembaga adat, atau trah mana pun, tetapi untuk menjadi rumah besar yang menjaga agar seluruh entitas adat tetap berpijak pada kebenaran sejarah, etika, dan tanggung jawab kebudayaan.

Palasara menolak mentalitas pecundang yang merasa harus selalu berada di bawah bayang-bayang pihak lain. Suku-bangsa Sulawesi Selatan dan Barat tidak lahir untuk menjadi pengikut tanpa suara.

Mereka lahir sebagai pemimpin, sebagai penjaga nilai, sebagai penentu arah peradaban di wilayahnya sendiri. Karena itu, Palasara memosisikan diri sebagai ruang konsolidasi intelektual, moral, dan kultural agar adat tidak disalahgunakan, sejarah tidak dipelintir, dan identitas tidak diperdagangkan.

Dalam perspektif akademik, Palasara dapat dipahami sebagai sebuah cultural governance institution lembaga tata kelola kebudayaan yang berfungsi menjaga standar etik, historis, dan genealogi dalam dunia adat. Ia menjadi penyeimbang antara kebebasan setiap kerajaan dan lembaga adat dengan tanggung jawab kolektif untuk menjaga kebenaran sejarah dan kehormatan suku-bangsa.

Maka Palasara bukan sekadar simbol persatuan, melainkan instrumen kebangkitan. Ia menegaskan bahwa Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja tidak boleh diposisikan sebagai objek kebudayaan, tetapi sebagai subjek sejarah. Bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pemain utama di panggung peradaban Nusantara.

Dalam dunia yang terus berubah, hanya bangsa yang mengenal asal-usulnya yang mampu berdiri tegak menghadapi masa depan.

Palasara hadir untuk memastikan bahwa Sulawesi Selatan dan Barat tidak berjalan dengan kepala tertunduk, melainkan dengan marwah dan harkat yang tetap terangkat tinggi sebagaimana warisan leluhur mereka yang agung. (*)