Oleh : Dr. Muslimin M. (Akademisi)
Beberapa hari terakhir ini, langit Indonesia kelihatan cerah, tetapi di selimuti awan dan tiba-tiba saja hujan turun. Kira-kira seperti itulah gambaran suasana perpolitikan tanah air saat ini semakin dinamis dan menghangat.
Hal ini tentu lumrah saja sebab kita berada di tahun politik. Bulan Februari lalu, kita sudah melalui pesta demokrasi yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden, dan November yang akan datang kita akan memasuki puncak pesta demokrasi lokal yaitu pilkada serentak.
Kaitannya dengan itu, sudah barang tentu sering mendengar kata oligarki, bahkan begitu familiar di telinga kita. Banyak kelompok masyarakat mengeluhkannya dan mengkritiknya. Lalu, apa dan mengapa oligarki itu pada demokrasi?
Dalam tinjauan teori Jeffrey Winters, profesor bidang politik Nortwestern University Amerika Serikat, mendefinisikan oligarki sebagai politik mempertahankan kekayaan material. Terdapat dua kata kunci dari definisi tersebut, yaitu politik pertahanan, dan kekayaan material.
Seorang oligarki mestilah memiliki kekayaan material yang mudah dialihkan dalam kepentingannya yaitu mempertahankan kekayaan. Seorang oligarki pastilah punya kepentingan untuk mempertahankan kekayaan.
Masih menurut Winters, oligarki terjadi karena adanya ketimpangan dan konsentrasi kekayaan. Karena seseorang sangat kaya raya sementara orang lain sangat miskin, maka orang-orang yang sangat kayalah yang diuntungkan secara politik.
Ia memiliki sumber daya material untuk membeli massa, berkampanye memenangkan posisi yang dipilih dalam pemilu yang bebas dan adil. Atau untuk membeli figur penentu di kekuasaan untuk melancarkan bisnis yang membuatnya berlimpah kekayaan material.
Cukup berbeda dari Winters, teori berperspektif ekonomi-politik Marxis, Richard Robison dan Vedi Hadiz mendefinisikan oligarki sebagai sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektifnya. Ada satu kunci yang sama dengan Winters, yakni pertahanan.
Namun, dalam definisi ini, oligarki mensyaratkan terpisanya antara kekuasaan (politik) dengan kepentingan untuk mempertahankan konsentrasi kekayaan ekonomi(Robison & Hadiz 2013).
Kemudian dalam tulisan GegerRiyanto dalam buku Oligarki, Teori dan Kritikā (2020), “barangkali karena sikap permisif masyarakat, oligarki langgeng di Indonesia”. Masyarakat bersikap permisif terhadap oligarki yang terampuni dengan nalar bagi-bagi uang sebagai bentuk kepedulian sosial, dan bahwa penting memilih orang kaya agar tak korupsi saat terpilih.
Oligarki dalam potret politik Indonesia, memang beririsan dengan praktik-praktik demokrasi elektoral.
Ambruknya Demokrasi
Para pemikir Marxis menganggap bahwa demokrasi semestinya berfungsi sebagai sistem politik yang dapat menciptakan kesetaraan akses dan partisipasi. Di mana rakyat mayoritas yang berkepentingan dapat mencegah terjadinya ketimpangan kekayaan.