Nilai Asia, Nilai Indonesia

Yanuardi Syukur, Presiden Rumah Produktif Indonesia

Oleh Yanuardi Syukur, Presiden Rumah Produktif Indonesia

Tadi pagi saya ikut Asian Leaderhip Conference 2021 yang digelar oleh Chosun Media bermitra dengan Center for Asia Leadership dengan tema “World after Covid-19: Rebuilding Trust and Cooperation”. Menurut CAL, acara ini diikuti oleh 230 global leader dari 20 negara, 3 mantan kepala negara, 8 penerima Nobel, dan lainnya.

Di tengah global power shift ke Asia, CAL adalah salah satu lembaga yang menyadari bahwa Asia terlibat sangat penting bagi dunia terkait dalam upaya mendorong pertumbuhan, perdamaian, dan kemakmuran yang berkelanjutan. Negara-negara di kawasan ini semakin menghadapi tantangan politik, ekonomi, dan sosial yang kompleks yang akan mengubah masyarakat mereka menjadi baik atau buruk.

Masih terkait CAL, mereka juga percaya bahwa segala bentuk bisnis harus memperluas value creation approach-nya dengan memasukkan nilai-nilai ekonomi dan sosial. CAL kemudian hadir sebagai platform yang mendukung individu dan organisasi untuk mengatasi tantangan kepemimpinan mereka dan memajukan kondisi sosial dan ekonomi mereka. Umumnya, tim mereka adalah alumni Universitas Harvard yang konsen pada Asia leadership.

Pada konferensi ini, saya ikut sesi Mantan Wapres AS Mike Pence, John R. Allen (Brookings), Edwin Feulner (Heritage Foundation), John J. Hamre (CSIS), Mark T. Esper (Mantan Menhan AS), Tun Dr. Mahathir Mohamad, dan ‘poetic diplomat’ Mantan Menlu RRT 2003-2007 Li Zhaoxing. Semuanya bercerita tentang pentingnya kemitraan global dalam menghadapi berbagai masalah global dan kawasan. Apa yang terjadi di tingkat global–seperti Covid-19–perlu menjadi perhatian bersama, negara kaya bantu negara miskin, serta bagaimana menjaga stabilitas kawasan.

Bersatu adalah kata kunci yang diucapkan Pence. Tanpa persatuan problem kebangsaan atau regional tidak akan terselesaikan. Selain itu, perlu ada harapan. Bahwa harapan terhadap yang terbaik ‘masalah akan selesai’ juga harus kita punya. Hampir sama dengan itu, Mark T. Esper dalam sesinya mengutip tiga hal yang harus ada dalam diri kita, merujuk pada Jenderal Douglas MacArthur: keberanian, keyakinan, dan harapan.

Pada sesi Allen, Feulner, dan Hamre, terlihat ketegangan simbolik AS terhadap China. Misalnya, ketika John J. Hamre menyampaikan bahwa ketika dia bertanya apakah security orang percaya pada China? Tidak ada yang angkat tangan. Tapi jika ditanya pada hal lainnya, orang percaya China.

Ketegangan antara AS dan China masih mengemuka sejak Trump yang bilang ‘virus China’ sampai pada obrolan tadi pagi. Ada kekhawatiran AS terkait manuver China di Laut China Selatan (kita menyebutnya: Laut Natuna Utara).

Tapi kekhawatiran AS terhadap China itu dikeritik oleh Tun Dr. Mahathir Mohamad. Dia berkata, buat apa mengirimkan kapal perang ke LCS? “Perang tidak menyelesaikan masalah,” kata Mahathir. Bahkan, perang adalah sangat primitif dan kita harus menjauh dari itu sebagai masyarakat yang beradab.

Seharusnya, lanjut Mahathir, kita menolak perang dan fokus pada perdamaian, yakni negosiasi dan arbitrase. Jika itu yang dipakai, maka tak ada orang yang rugi. Sebaliknya, kita provokasi perang–secara simbolik dengan kapal perang–itu hanya akan membuat dunia menderita dan kawasan tidak stabil.

Prof Chun Chae-Sung yang jadi moderator sesi Mahathir bertanya tentang aspek apa yang diprioritaskan saat jadi PM Malaysia? Selain ekonomi, Mahathir juga berfokus mengangkat nilai-nilai Asia atau Asian values. Sebagai ‘strong proponent’ Asian values, Mahathir mengatakan bahwa dunia kita saat ini dikuasai oleh euro-centric, dunia yang berpusat pada nilai-nilai Eropa atau Barat.

Menurut Mahathir, kita tidak bisa meng-copy secara mentah-mentah nilai itu, karena kita punya nilai Asia. Misalnya, konsep perkawinan yang berbeda antara Asia dan Barat. Waktu bicara di hadapan mahasiswa Universitas Chulalongkorn, 2018 lalu, Mahathir mngatakan bahwa Malaysia menolak LGBT, karena “sodomi adalah kejahatan di Malaysia” dimana agama dominannya adalah Islam. “Sometimes Asian accept western values without questioning,” kata dia di Bangkok seperti dikutip Nikkei Asia, 25 Oktober 2018.

Nilai Asia yang dimaksud Mahathir lebih pada nilai dominan yang ada di Asia atau di negara-negara Asia. Pada 1990-an, Mahathir dan Lee Kuan Yew mengangkat ‘Asian values’ sebagai ‘seperangkat nilai yang dibagikan pada masyarakat Asia Timur dan Asia Tenggara.’ Culture is shared, adalah salah satu konsep antropologis terkait kebudayaan, bahwa kebudayaan itu dibagikan atau disosialisasikan kepada masyarakat.

Stressing pada kebersamaan ketimbang indivualisme adalah khas Asia. Keteraturan dan harmoni lebih disenangi orang Asia ketimbang personal freedom. Sebagian kalangan menyebut Asian values ini sebagai ‘konstruksi ideologis kepemimpinan Asia’ ketimbang nilai-nilai genuine dari masyarakat.

Sebagai aspirasi ‘the rise of Asia’, ide tersebut diperlukan untuk menyatukan bangsa-bangsa Asia agar maju bersama, bangkit bersama dengan nilai-nilai universal yang terbagi di kawasan Asia. Maka, kampanye Mahathir adalah solusi LCS yang secara simbolik mewakili konflik AS dan China, harusnya ditangani dengan perspektif Asia, yakni negosiasi dan arbitrase ketimbang show of force angkatan perang di kawasan yang dapat meningkatkan ketegangan.

Asian Leadership Conference 2021 ini menarik, karena kita dapat lalu-lintas ide antarpemateri yang kendati mereka tidak berada dalam satu panel tapi pemikirannya saling mendialogkan. Harusnya, sebesar apapun perbedaan, dialog menjadi pilihan utama. Di Indonesia, dialog bahkan menjadi nilai universal kita, yang dikenal dengan musyawarah dan terkandung dalam sila keempat Pancasila. *

Depok, 30 Juni 2021