MALUNDA,mandarnesia.com-“Sudah puluhan tahun saya geluti pekerjaan begini. Andaikan tidak ada kerjaan seperti ini, entahlah saya mau kerja apa,” kata salah seorang penambang pasir di Sungai Deking, Kecamatan Malunda, Majene, Syamsuddin.
Meskipun usia sudah nencapai 55 tahun, namun aktivitas sebagai penambang pasir tetap digelutinya. Bukan karena hobi tapi hanya itulah jendela rezeki yang mampu ia petik untuk nafkah keluarga. Dan, menjadi penjamin akan kebutuhan sehari-harinya.
Karena kerjaan sampingan sebagai peternak sapi, menurutnya bukanlah jalan utama untuk menyelesaikan persoalan dapur keluarga, terlebih karena sapi peliharaan itu milik orang lain.
Setiap hari ia lakoni sebagai penambang pasir. Dari fajar hingga senja tiba. Begitulah warna kehidupan yang terus ia jalani, terkecuali jika cuaca tidak mendukung karena akan menyebabkan permukaan air sungai makin meninggi.
Meskipun kondisi tersebut membuat Syamsuddin harus absen dari kerjaan, tapi sebenarnya menjadi berkah baginya. Karena, curah hujan itu menjadikan volume pasir semakin besar di dasar sungai, yang berarti penghasilan akan penambangan berikutnya pun akan semakin banyak.
“Entahlah dari mana itu pasir. Apalagi kalau sudah banjir pasti banyak,” kata Syamsuddin, Sabtu (3/2/2019).
Profesi ini cukuplah menantang, jarak pengangkutan pasir dari lokasi penggalian (dasar sungai) kurang lebih satu kilometer. Yang membutuhkan waktu beberapa jam untuk memindahkan pasir tersebut.
Bahkan, penggalian pasir dari dasar sungai ke perahu juga lebih miris dengan menggunakan alat manual yang dibuat sendiri, dengan menyelam tanpa menggunakan alat selam apalagi tabung oksigen.
“Sampai leher air baru menyelam ke bawah (dasar sungai). Biasanya badan kita berubah jadi warna biru gara-gara kedinginan,” cerita Syamsuddin, yang dikaruniai empat anak ini, sambil menghisap rokoknya.
Setelah betul-betul sampai satu setengah kubik (sesuai ukuran), barulah pasir dibawa ke tempat penampungan yang telah dibuat.
“Di sini terkuras sekali juga tenaga. Karena memindahkan dua kali pasir dengan menggunakan skop. Dari perahu satu kali, setelah itu dipindahkan ke atasnya lagi untuk memudahkan pembeli. Terkadang dada terasa sakit,” tutur warga Dusun Deking, Desa Lombong.
Sehingga, pengangkutan maksimal dua kali dalam sehari. Karena, semangat kerja dan usia tidak lagi berjalan sejajar yang juga menjadi salah satu faktor penyebabnya.
“Itupun jika cuaca bersahabat,” ungkap Syamsuddin yang asli Bugis.
Satu kubik pasir miliknya dijual seharga Rp50.000. Tiga kubik hanya dapat Rp150.000. Tapi, jika nasib baik memihak kepada Syamsuddin. Lantaran, masih ada beberapa seprofesi dengan Papa Eppi sapaan akrabnya, yang berjejar di bibir sungai Deking itu.
Hanya saja, secara kualitas pasir sungai kadarnya lebih bagus ketimbang pasir dari laut.
“Tapi biasa juga saya ambil pasir laut. Tergantung orang yang memasan. Tapi kebanyakan pasir sungai saya ambil. Tahan lama,” ujarnya.
Terkadang, hari-hari tertentu pesanan tak sanggup dilayani Papa Eppi. Ia ingin sekali melayani semua pemesan, namun usia yang sudah kepala lima tak memungkinkan lagi layaknya masih anak muda.
Selama menjadi penambang pasir, penghasilan sebulan hanya mencapai ratusan ribuan dan bahkan belum pernah ia dapatkan hingga satu juta.
“Untuk kebutuhan sehari-hari tidak mencukupi dengan pekerjaan ini. Tapi yang namanya rezeki tetap harus disyukuri. Berapapun nilainya,” tutupnya.
Aldi Syam cucu dari Syamsuddin, diberikan upah Rp15.000 hingga Rp20.000 dari hasil jeripayahnya itu.
“Sudah ada tiga bulan saya kerja di sini. Pulang dari sekolah saya bantu-bantu nenek saya (Papa Eppi). Ya, untuk biaya sekolah,” tutur Aldi.
Foto: Busriadi Bustamin
Reporter: Busriadi Bustamin