Laporan: Fauzan
GEMA musik menggulung, menelusup ke lorong-lorong jiwa. Ia tidak sekadar bunyi—ia bicara pada alam raya. Ketukan gendang bertabuh serempak dengan detakan jantung cita; siulan seruling berbisik pada atmosfer rasa—hingga pecah, meledak, bersama bulu kuduk yang meremang.
Kali ini, saya menjelajahi tangga-tangga nada dan dentuman-dentuman ritmis yang terus mencari arti. Musik tak hanya terdengar, ia berbicara—tentang bunyi yang dipahami bukan hanya oleh telinga, tetapi juga oleh tubuh, oleh jiwa.
Di mana letak nyawa sebuah ketukan? Di mana ruh dari setiap alunan? Selain pada detak, selain pada detik, selain pada gerak dan gerik?
Setiap kali musik berdendang, tubuh kita merayakannya, seolah tak mampu menolak. Jemari menari, langkah berayun, tubuh melenggak—jiwa ikut bersuka. Musik mengalir bersama darah, berdenging lembut di dada dan kepala.
Di tengah proses kreatif itu, Sahabuddin Mahganna—atau yang lebih akrab disapa Opa—duduk di hadapan perangkat musik, mengutak-atik bunyi dari berbagai dimensi. Ia seorang komposer sekaligus etnomusikolog senior tanah Mandar, yang dipercaya menata komposisi musik pengiring tari pada Festival Banua Kaeyyang 2025.
Sembari tajam memperhatikan hitungan dan pola gerak penari, Opa mulai meracik komposisi yang kaya rasa dan makna. Sesekali terdengar: “Ulang!”, “Dari awal!”, “Cepat!”, “Gerak!”—bukan kemarahan, tapi ketegasan profesional. Semua kru tahu, Opa adalah pribadi humoris yang serius dalam latihan.
“Untuk menciptakan musik pengiring tari, kita mesti mengkaji lebih dahulu: memahami tiap adegan dan gerak, lalu menyesuaikan dengan komposisi nada yang pas,” jelas Opa, dengan topi hitam berikat selendang sutra merah—ciri khasnya.
Festival budaya “Banua Kaeyyang Multicultural Attraction” mengusung tema “Menenun Peradaban, Merajut Ekosistem Kebudayaan”. Kegiatan ini merupakan program dari Kementerian Kebudayaan RI melalui Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVIII Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Inilah panggung bagi para seniman dan budayawan muda untuk menampilkan kemampuannya—khususnya para pemusik dari Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Pandaraq Universitas Sulawesi Barat (UKM Seni Pandaraq Unsulbar) yang menjadi pengiring tari dalam festival yang digelar di Kabupaten Polewali Mandar.
Mereka berkolaborasi dengan Opa untuk mempersembahkan suguhan musik terbaik bagi khalayak. Kolaborasi ini—antara semangat muda dan pengalaman panjang—adalah sajian yang patut ditunggu.
Sebagai orang biasa yang hanya mendengarkan musik untuk dinikmati, saya tidak pernah benar-benar mengamati proses penciptaannya. Tapi kali ini berbeda. Saya menyaksikan langsung bagaimana musik dibangun dari ketukan, dari imajinasi, dari diskusi.
Musik sejatinya dinikmati oleh telinga. Tapi musik yang baik, mampu menyentuh tubuh dan jiwa. Tubuh pun menari sebagai respons alami.
Salah satu pemusik, Hendi Pradana Montoya—akrab disapa Toya—berbagi cerita di sela waktu istirahat. Ia telah lama bermain musik tradisional untuk mengiringi tari.
“Ada perbedaan antara memainkan musik pengiring tari dengan pengiring lagu. Kalau dengan penyanyi, kita bisa tangkap langsung emosi dan makna liriknya. Tapi penari? Kita harus betul-betul perhatikan setiap gerakan. Tangkap maksudnya, lalu menyesuaikan,” ujar Toya.
Menurut Toya, seorang pemusik harus peka dan cekatan menerjemahkan arahan komposer. Selain itu, penting juga membuka ruang dialog dengan penari demi kolaborasi yang utuh.
Saya duduk di tengah mereka, menyaksikan komunikasi yang hidup—antara nada, ritme, dan gerakan. Saya melihat sendiri bagaimana nada dibangun dengan ketelitian, bagaimana tabuhan gendang dan tiupan seruling seolah menyihir siapa saja yang mendengarnya. Rasanya ingin ikut menari.
Dan, saya yakin, perasaan yang sama akan dirasakan oleh siapa pun yang menyaksikan mereka tampil di panggung “Banua Kaeyyang”.
Toya menutup obrolan kami dengan nada bercanda yang puitis, “Menjadi pemusik pengiring tari itu anugerah. Selain mewarisi budaya, kita juga diberi hak istimewa oleh Tuhan—menyaksikan keindahan para penari dari tanah Mandar yang anggun dan memesona. Itu keajaiban makna.”
Maka, kepada seluruh masyarakat Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah—bersiaplah menyambut persembahan seni luar biasa dari para maestro muda ini.
Selamat menjadi saksi…(WM)