Oleh : Wahyudi Muslimin
Festival Sungai Mandar yang dilaksanakan setiap tahun di bulan Maret menjadi saksi pertemuan lintas generasi. Mereka bertatap muka dalam diksi, karya dan seni yang menciptakan letupan-letupan kebudayaan dari generasi-ke generasi.
Gelaran Festival Sungai Mandar dari tahun ke tahun mampu mencipta atmosfir kebudayaan serta melahirkan tikar-tikar ilmu yang dilingkari dari generasi ke generasi. Banyak hal yang menjadi cerita dari perhelatan tersebut dari kuliner tradisional sampai pada tenda-tenda yang berbaris di bantaran Sungai Mandar.
Lingkaran pohon bambu yang berbaris serta menjulang ke langit menyaksikan mereka yang saling bercerita, berdiskusi bahkan menularkan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Diksi-diksi dalam balutan satra menjadi aroma setiap perhelatannya.
Banyak penulis serta orator kebudayaan hebat bertemu, dari mulai generasi Suradi Yasil, Tammalele, Nurdin Hamma, sampai pada generasi milenial yang memenuhi hutan bambu di Alu, berseliweran dalam jejeran lingkaran pohon bambu.
Musik bertalu, dari musik modern sampai tradisi, naskah teater dan puisi serta lantunan sayang-sayang menjadi pernik untuk selalu mengantar pengunjung dalam menikmati nuansa keakraban yang hadir dan tercipta diatara mereka.
Gerakan literasi pun tak absen dalam Festival Sungai Mandar sebagai suatu gerakan sosial yang memenuhi ruang-ruang gerak masyarakat Sulawesi Barat saat ini. Hampir seluruh pegiat gerakan ini berkumpul dalam naungan daun-daun bambu yang menghijau atau di atas daun bambu kering yang sudah berguguran ke tanah lalu menjadi alas duduk dan tidur mereka saat menyatu dengan tanah kemudian berubah menjadi pupuk alam.
Muhammad Rahmat Muchtar dan Muhammad Ishaq, duo Muhammad yang menjadi pengganggas Festival Sungai Mandar keduanya berlatar pendidikan seni. Muhammad Rahmat Muchtar yang biasa kami panggil Mat Panggung dulunya kuliah di ISI Yogyakarta jurusan seni rupa. Muhammad Ishaq yang biasa disapa Ishaq Jenggot Alumni UNM Makassar jurusan seni musik.
Keduanya berkolaborasi menciptakan konsep event yang berbasis lingkungan diramu dengan unsur seni dan kebudayaan. Sungai Mandar yang merupakan sumber peradaban orang Mandar menjadi obyek utama dalam perhelatan ini.
Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar bersama Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat melalui dinas pariwisata masing-masing mendukung penuh kegiatan ini. Event menjadi salah satu alat yang sangat mumpuni dalam mensosialisasikan destinasi wisata, menghidupkan roda ekonomi desa, bahkan menjadi ruang belajar bersama tentang segala hal yang bisa dibagi sesama hadirin FSM. Inilah contoh kerjasama pemerintah dengan masyarakat, dengan pemuda yang memenuhi hidupnya dengan hal-hal yang bermanfaat bagi semua orang.
Peranan kebudayaan menjadi cemeti sehingga banyak melahirkan gagasan baru, dielaborasi dengan penularan berbagai ilmu pengetahuan kepada generasi yang lebih muda. Energi kebudayaan, energi kesenian serta energi literasi begabung menjadi satu dalam bingkai silaturrahim yang tercipta di Festival Sungai Mandar.
Berbagai sektor terlibat dalam gelaran FSM, sektor kesehatan, lingkungan, ekonomi, pariwisata serta berbagai elemen menyatu dalam lingkaran Festival Sungai Mandar. Sehingga banyak instansi atau lembaga yang memanfaatkan kesempatan ini untuk mensosialisasikan program mereka.
Pada event FSM ke 6 ini, ada aktivitas bersepada secara berkelompok yang setahun terakhir ini menjadi marak dilakoni banyak orang. Mandar Manggoling sebagai salah satu upaya mempererat tali persaudaraan. Berbagai komunitas sepeda ikut hadir dalam perhelatan tersebut, bahkan dari luar Sulawesi Barat pun turut andil mengayuh pedal mereka menyusuri jalur-jalur sungai. Tercatat kurang lebih 800-1000 peserta ikut dalam untaian persahabatan melalui kekuatan lutut dan kaki mengayuh pedal sepeda mereka.
Salah seorang peserta menyebutkan bahwa rute Sungai Mandar medannya lumayan ekstrim, sehingga ada beberapa peserta yang cedera dan pingsan ketika bergerak menuju garis finish di Hutan Bambu Alu, Polewali Mandar.
Ratusan orang datang menginap dengan mendirikan tenda atau tinggal di gubuk-gubuk bambu yang sengaja disulap jadi stand kuliner, pemeran buku, serta kerajinan tangan untuk dijajakan pada event tersebut.
Asap-asap pembakaran gogos kambu yang merupakan kuliner khas juga menjadi santapan lezat. To’do-to’do sejenis makanan yang bahan dasarnya dari santan dengan rempah-rempahnya dipadukan dengan telur rebus atau daging ayam kampung lalu dilahap dengan ketupat atau nasi putih…tentunya rasanya maknyos. Roda-roda ekonomi mayarakat sekitar perhelatan event pun menjadi hidup.
Tentunya semangat ini terbaluri dari energi silaturrahim tercipta di bantaran Sungai Mandar yang mungkin juga ikut ada ketika bumi ini dicipta dan tetap konsisten mengaliri kehidupan masyarakat di sekitarnya. Tak lupa sosialisasi akan pentingnya menjaga lingkungan dari limbah-limbah plastik yang bisa disulap menjadi hal yang berguna.
Seperti yang dilakukan Presidium Sungai Indonesia Ahmad Yusran, dengan gigihnya mengajarkan anak-anak mengolah botol plastik yang diisi dengan berbagai plastik kemasan produk menjadi tempat duduk baca yang lumayan kuat. Semoga Bung Ahmad Yusran tidak pernah bosan menularkan hal-hal yang bermanfaat terkait dengan pengelolaan dan pendampingan dalam memesrai Sungai Mandar.
Akhirnya, kita tentunya berharap Festival Sungai Mandar selalu menjadi wadah atas beberapa hal yang terekam dalam diksi di atas. Semoga energi Sungai Mandar terus mampu mengalirkan ispirasi-inspirasi baru dan mampu menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya menjaga lingkungan utamanya sungai yang merupakan peradaban kehidupan manusia serta mampu terus mempertemukan manusia dengan manusia yang baik sebagai bahan bertemu dengan Ilahi Rabbi, sang pencipata alam.
Sampai bertemu pada FSM ke-7, semoga kita selalu sehat dan dipanjangkan umur, sehingga kita masih bisa saling bertukar energi dalam bingkai silaturrahim.
Sumber Foto : Fb Muhammad Munir