Sumber-sumber informasi terkait dirinya sangat minim. Meski demikian, bukan lagi rahasia umum bahwa Kandjuha adalah sosok yang banyak berjasa terhadap upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Itulah sebabnya Pemda Majene mengabadikan namanya sebagai nama jalan dalam lingkup Kota Majene, Jl. Kandjuha.
Kematian Kandjuha sampai hari ini masih misterius kendati memiliki seorang putra yang bernama Muchtar Kandjuha tinggal di Karama, Kecamatan Tinambung.
Dalam buku Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan, Sarita Pawiloi menulis bahwa Kandjuha terakhir melakukan perlawanan di Puawang. Kejadian itu berlangsung pada bulan April 1948 dan berhasil diringkus pihak KNIL/NICA karena terjebak dan kehabisan peluru. Sejak itu, Kandjuha seakan hilang ditelan bumi.
Muhammad Saleh Banjar
Muhammad Saleh Banjar merupakan salah satu pendiri GAPRI 5.3.1. sekaligus menjadi Komandan Besar GAPRI 5.3.1. Setelah pembentukan GAPRI pada bulan Januari 1946, Ia dengan Raden Ishaq berangkat ke Jawa dan kembali ke Mandar 13 September 1946 bersama Muhammad Saleh dan Djud Pantje.
Pasca terjadinya Panyapuan di Galung Lombok dan setelah mengetahui bahwa peristiwa penghadangan pasukan Belanda di Tadolo adalah ulah dari pasukan GAPRI yang dipimpin oleh Muhammad Saleh Banjar, pihak Belanda semakin gencar memburu para pejuang dengan menyerang semua pos-pos GAPRI.
Kondisi ini membuat pasukan GAPRI harus berpencar dan meloloskan diri ke wilayah Polewali dan bergabung dengan pasukan KRIS Muda.
Pihak Belanda juga terus menyebarluaskan provokasi bahwa Muhammad Saleh Banjar dan kawan-kawannya adalah pengacau, perampok dan musuh pemerintah. Termasuk juga menyebar mata-mata untuk mencari tahu persembunyian Saleh Banjar dan kawan-kawan.
Pemerintah Belanda menghimpun seluruh kekuatan tentara KNIL dibantu polisi kampong bentukan pasukan Westerling menjalankan operasi ke rumah-rumah penduduk di Baruga.
Pasukan GAPRI 5.3.1 di bawah pimpinan Muhammad Saleh Banjar melakukan perlawanan hingga terjadi pertempuran yang menyebabkan 3 orang pasukan GAPRI yakni Sapaya, Dahlan dan Suruni gugur. Ketiganya merupakan warga dari Rusung.
Senin malam, 3 Februari 1947, Muhammad Saleh Banjar, Komandan Pertempuran Tinggi bersama Istri, Sainal dan pasukannya dikepung. Pihak Belanda menyerbu dengan melibatkan lebih banyak polisi kampung di bawah komando Ba’du Pua Umar bersama Pua Tapa dan lain-lainnya.
Kekuatan dan persenjataan yang tak seimbang malam itu, Muhammad Saleh Banjar bersama lima orang dari Tappalang yakni Marilatung, Sabarang, Taaco, Tamaya, dan Takkung harus mengalami penderitaan yang teramat dahsyat.
Mereka diikat dan diseret sejauh kira-kira 1 ½ km dari Labonda ke batas perkampungan Simullu Baruga. Mereka disiksa dengan bermacam-macam cara kemudian ditembak mati oleh polisi NICA dan KNIL.
Jenazah mereka kemudian di lemparkan saja ke atas mobil untuk dibawa ke Tangsi Militer Majene. Jenazah para pejuang itu dibiarkannya hanya tergeletak di luar tangsi, tepatnya di pinggir jalan jurusan rumah sakit umum (Sekarang Museum Mandar).
Tidak hanya itu, dari arah kantor polisi, seorang laki-laki bernama Lamua, tawanan lama dipercaya polisi mengawasi para pejuang yang ditawan. Dengan kelewang di tangannya, Lamua menghampiri jenazah Muhammad Saleh Banjar. Ia langsung memotong alat kelaminnya dan dibawa masuk ke kantor polisi sambil tertawa terbahak-bahak mengejek, “Ini dia laki-laki yang ingin merdeka, sekarang dia telah merdeka.”
Bukan saja jenazah Muhammad Saleh Banjar yang diperlakukan seperti itu. Pada malam kejadian, Saenab, Istri Muhammad Saleh Banjar diseret oleh Pua Tapa cs menuju ke Pa’galang dan diperlakukan tidak sesuai norma.
Kelakukan para Polisi Kampung dan Belanda ini sangat menyinggung rasa kemanusiaan para pejuang GAPRI 5.3.1.
Saleh Bhakti
Saleh Bhakti adalah salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia dari Laskar Kris Muda Mandar pimpinan Andi Depu. Ia lahir di Karama, Tinambung pada tahun 1924 (data lain 1928) dari pasangan Kambaya Pua Turunni (karama – Lambanan) dan Sa’diang (Banua Padang-padang) bersama satu orang saudaranya yang bernama Mustafa.