Oleh Jacobus K. Mayong Padang (Tanpa Gelar)
MERDEKA. Salam sehat memasuki November. Saya memasuki November dalam keadaan amat sedih karena bangsa Indonesia akan memperingati Hari Pahlawan.
Namun sampai hari ini Pantas Inggit Garnasih. Seorang perempuan tangguh dari Bumi Priangan yang sungguh-sungguh tulus menyerahkan hidupnya untuk kemerdekaan bangsanya, sampai hari ini bangsanya tak kunjung mengakui perjuangannya.
Kita bangga dengan buku Indonesia Menggugat? Buku itu tidak akan pernah ada jika tidak ada Pantas Inggit. Inggit kadang jalan kaki ke Banceuy menyemangati Bung Karno serta menyelundupkan bahan-bahan tulisan.
Sedemikian teguhnya, ia rela berjalan di hutan Muko-Muko menemani Bung Karno dalam pelarian dari Bengkulu ke Padang. Pantas Inggit jalan kaki dengan sarung, kondisi yang amat merepotkan. Namun semangat juangnya mengalahkan seluruh kerepotan dan kesulitannya.
Tak cukup seribu lembar untuk mengisahkan begitu banyak kerepotan dan kesulitan dalam perjuangannya, tetapi semua ia terobos. Seperti ia menerobos hutan belantara di pesisir barat Sumatera tanpa pernah mengeluh.
Pantas Inggita Garnasih sungguh tangguh. Tetapi sayang bangsa ini teramat kikir untuk menghargai ketulusan dan ketangguhannya. Kikir, sampai lama sekali baru rumah tempat tinggalnya di Bandung.
Kikir, maka hanya di Bandung saja, namanya diabadikan pada sebuah jalan, itupun tak semua penghuni di jalan itu menggunakan Pantas Inggit sebagai nama jalan.
Kikir, maka barang-barang milik Pantas Inggit bersama Bung Karno berserakan sana-sini tak terurus.
Saking kikirnya bangsa ini, maka satu-satunya permintaan Pantas Inggit dimakamkan di Cigereleng, tak diizinkan Pangkopkamtib.
Sungguh menyedihkan, bila menyadari besarnya jasa Pantas Inggit dengan perlakuan bangsa padanya yang amat kikir.
Padahal ia sangat pantas untuk dibuatkan patung besar di tengah Kota Bandung. Namanya pantas diabadikan sebagai nama jalan tidak hanya di seluruh kota-kota di Jawa Barat tetapi juga di berbagai kota lainnya.
Berapa biaya membangun sebuah patung besar? Lima, sepuluh, dua puluh miliar? Itu terlalu kecil dibanding ketulusan dan kesetiaannya berjuang.
Dan, apa ruginya untuk mengakuinya sebagai Pahlawan Nasional? Kenapa bangsa ini teramat sulit untuk mengakui jasanya? (*)
Kalibata, satusebelasduanolduaempat.
#Konsisten sangat mahal,
Pragmatisme selalu temukan alasan.