Oleh Adi Arwan Alimin
ERA media baru ditandai dengan apa yang disebut konvergensi media. Secara struktural konvergensi media berarti integrasi dari tiga aspek telekomunikasi, data komunikasi, dan komunikasi massa dalam satu medium. Sejumlah ahli menyebut pada media baru, khalayak memiliki otoritas membangun teks serta memanfaatkan medium. Inilah realitas yang membentang saat ini.
Penulis ingin merentang pengalaman sejak mulai belajar mengenal dunia surat kabar. Pada medio 1990-an, Burhanuddin Haruna wartawan senior di Polewali merupakan sosok yang pertama mengajak ikut bergabung, atau mengirimkan karya tulis ke media cetak. Misalnya, ke Mingguan Ajatappareng yang kemudian menjadi Parepos, atau ke salah satu buletin pertanian: Bina Tani, Kak Bur menjadi koresponden di sana. Ketika itu penulis mulai belajar menulis cerpen, atau puisi secara serius.
[perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=””]Apa yang sering penulis lihat saat itu? Bahwa Kak Bur setiap waktu menenteng lembaran kertas plano yang ditempeli foto dalam arsir gambar yang kemudian saya tahu itu sebagai cara layout paling primitif! Tidak sekali beliau sering menyebutkan bahwa begitulah desain surat kabar yang akan dibawanya ke Makassar, di kota Daeng ada pak Ruslan seorang mentor jurnalistik yang sudah piawai melayout koran dengan program pagemaker.[/perfectpullquote]
Plano berisi puluhan foto juga ketfotnya yang ditenteng ke Makassar itu menjadi maping awal sebelum proses desain dan koran tiba di tangan pembaca. Jadi, apa yang dilakukan Kak Bur itu merupakan teknik manual sebelum masa kecanggihan mendesain surat kabar makin maju. Meski cara mengerjakan surat kabar di akhir tahun 1990-an itu cukup menguras energi, tapi penulis bersyukur telah menyaksikan proses konvensional itu di Tabloid Sandeq Pos, hingga bekerja mengawasi layouter di newsroom Radar Sulbar, juga mengadvis Koran Mandar setelah itu.
Kini era baru media melempangkan pilihan di tengah arus informasi teknologi yang sangat maju. Kita tak pernah dapat membayangkan perubahan yang amat cepat itu, misal antara tahun 1990 ke 2017 ini. Lalu akan bagaimana lompatannya untuk satu dekade ke depan?
Media baru muncul sejalan dengan perkembangan teknologi digital, seperti halnya televisi, radio, dan surat kabar. Yang mempunyai karakteristik tersendiri antara lain interaktif, hipertekstual, jaringan, maya, simulasi, dan digital. Perkembangan teknologi komunikasi lalu mendorong munculnya media online. Dengan didukung media alternatif seperti media sosial hambatan jarak, waktu, dan nilai sosial budaya di tengah masyarakat kemudian dipangkas lebih ringkas.
Media baru umumnya disebut sebagai media digital yang mencakup pada serangkaian platform termasuk blog, micro-blogging, media sosial, berbagi video, pelaporan online dan umpan RSS. New media merupakan forum komunikasi peer-to-peer digital massa yang melibatkan penggunaan perangkat mobile seperti ponsel jadul, ponsel pintar, laptop dan komputer yang tidak dibatasi pada aktivitas online digital semata, namun mencakup serangkaian aktivitas offline yang besar.
Arus media baru dewasa ini menempatkan media mainstream seperti surat kabar, majalah dan televisi, yang dipegang secara tradisional selama sekian dekade oleh elite politik, tidak dapat lagi memonopoli dan mengendalikan komunikasi dan informasi. Perusahaan media yang besar memang masih eksis, tapi dominasi mereka tidak lagi sehebat sepuluh tahun terakhir. Walau pergeseran ini masih terus tarik-menarik.
Ciri utama yang diusung media baru mampu mendorong keterlibatan massa dan menciptakan kesempatan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mencipta ekspresi dan menggalang interaksi. Yang memungkinkan warga, terutama di kalangan aktivis, seniman, dan kelompok politik dan budaya lainnya dimanapun untuk setuju atau tidak setuju, dan menantang narasi dominan yang ditetapkan oleh pengendali arus utama atau nilai sosial budaya.
Cara konvensional dalam mengelola media massa memang harus segera dirombak. Sambil terus mengikuti siklus perkembangan media yang bergerak sebagai gelombang dari masa depan. Inilah salah satu pekerjaan rumah, bagi setiap pengelola media. Secanggih apapun newsroom, seluas apapun kuota internet, dan sehebat bagaimana pun awak redaksi, bila tak mengadaptasi lingkungan yang berubah, hanya akan mengakibatkan kemunduran pengaruh media di kemudian hari.
Konvergensi media telah menjadi pijakan. Ini semua mesti dibarengi dengan cakupan kualitas awaknya, dan para pengelola. Tak hanya cukup selancar share file berita kemana-mana, jika kita tak mampu menjaga trust pembaca yang sesungguhnya memegang kendali. Apakah sebuah media masih pantas dibaca, atau disingkirkan dari tautan. [*]
Mamuju, 17 September 2017