Visi misi kedua organisasi terbesar di Indonesia ini adalah ingin mengembangkan pemahaman Islam yang moderat dan keislaman yang sesuai kultur keindonesiaan, atau istilah Buya Syafii Maarif Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan.
Bagaimana keislaman itu tumbuh subur dan berkembang pesat dengan tetap mengadopsi budaya-budaya keindonesiaan yang berakar dari niali-nilai kemanusiaan universal.
Membaca pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif akan membawa kita ke pemikiran yang mendalam tentang keberislaman, Beliau mampu menterjemahkan prinsip-prinsip Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan. Pendekatan-pendekatan dalam memahami Islam tidak pernah lepas dari aspek kesejarahan yang merupakan ilmu digeluti selama ini.
Salah satu buku Buya yang terbit ditahun 90-an yang diterbitkan oleh mizan adalah “Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia” adalah buku yang menggambarkan pemikiran Buya, disini Buya mencoba menggambarkan peradaban Islam awal adalah peradaban yang berpihak kepada peradaban ilmu dan peradaban spiritual.
Dalam bahasa Buya bahwa keberhasilan Nabi dalam membangun masyarakat madinah pasca hijrah karena Nabi mengedepankan dua fakultas yaitu fakultas dzikr dan fakultas fikr, kedua model peradaban ini menjadi rujukan Nabi dalam membangun masyarakat madani atau masyarakat yang berperadaban.
Peradaban spritual dicoba dikedepankan oleh Nabi ketika baru sampai di madinah Nabi langsung menginisiasi pembangunan tempat ibadah yakni mesjid sebagai simbol dzikr, sebagai peradaban spritual.
Disamping peradaban spritual, Nabi juga memberikan pencerahan-pencerahan kepada para sahabatnya atau masyarakat madinah umumnya. Ini dengan intensnya halaqah-halaqah keagamaan setelah Nabi melaksanakan ibadah.
Salah satu kebiasaan Nabi adalah melakukan bincang-bincang berbagai permasalahan keagamaan dan keummatan. Ini adalah model atau simbol fikr atau simbol keilmuan. Jadi menurut Buya bahwa membangun suatu peradaban yang anggun dan tahan banting dari kejatuhan, haruslah landasannya yaitu landasan dzikr dan landasan fikr.
Di samping model peradaban yang ditawarkan oleh Buya yaitu peradaban ilmu dan peradaban spritual, Buya juga mencoba menawarkan kualitas personal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah bagaimana membudayakan kearifan dan ketegasan dalam memimpin suatu organisasi.
Memang keduanya tidak selalu mudah bersahabat dalam kenyataan berorganisasi.
Bahwa kunci keberhasilan sebuah gerakan perjuangan banyak ditentukan oleh tingkat kemampuan kita mengawinkan kedua kata yang tidak selalu bersahabat itu.
Itulah resep Buya dalam keberhasilannya memimpin organisasi Muhammadiyah, Buya mencoba untuk memberikan resep yang jitu dalam memimpin, yaitu bagaimana membudayakan keilmuan dan mengisi kekuatan spiritual, Buya dalam hal ini bukan hanya memberikan konsep lewat berbagai tulisan-tulisannya tapi betul-betul dipraktekkan dalam kehidupan Buya.
Kepemimpinan Buya dalam Muhammadiyah betul-betul mempraktekkan budaya ketegasan sebagaimana pemimpin-pemimpin sebelumnya. Disamping itu Buya juga sangat Arif dalam masa kepemimpinan Buya di Muhammadiyah.
Kita butuh pemimpin-pemimpin kedepan untuk membudayakan ketegasan dalam memimpin dan tentu saja juga dibarengi kearifan, keduanya harus menyatu dalam jiwa seorang pemimpin.
Satu juga yang menarik dari sosok Buya Ahmad Syafii Maarif adalah keproduktifannya dalam menulis, Buya tidak pernah merasa lelah untuk menyampaikan kisi-kisi pemikirannya lewat tulisannya. Dan tulisan-tulisannya banyak menyentuh persoalan moral kebangsaan, Dan Buya sangat kritis dalam melihat kondisi kebangsaan yang sangat terpuruk dalam persoalan moral kebangsaan.
Buya adalah tokoh Muhammadiyah atau tokoh Bangsa yang paling produktif dalam menulis atau menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Tulisan-Tulisan Buya akan referensi yang abadi dan menjadi rujukan dalam menata Indonesia yang berwibawa kedepan.
Prof Quraish Shihab pernah memberikan statmen di salah satu buku Buya, "Mengetahui usia Buya Syafii Maarif, sudah sepatutnya beliau ini dicemburui banyak orang. Beliau tetap produktip dan menyumbangkan pikiran-pikirannya tanpa ragu sedikitpun dengan sudut pandangnya. "
(Bumi Pambusuang, Juni 2024)