Oleh Adi Arwan Alimin (Writer/Pemerhati Budaya)
KITA tumbuh dalam kelompok sosial yang masih baik. Kita juga memiliki budaya yang sejauh ini terjaga. Tradisi massiara, berkunjung atau beranjangsana dalam ikatan silaturahmi antarkeluarga pun terawat, meski semua ini sedang dalam ambang era lebaran digital. Benih kekerabatan yang kental ini entah sampai kapan akan bertahan.
Suasana berlebaran di daerah atau di kampung kita memang tetap hidup, namun skalanya makin terasa sempit. Penulis mengingat bahwa beberapa dekade lalu, saling mengunjungi atau massiara terpelihara dalam rumpun keluarga yang kuat. Namun lambat laun, temu wajah, saling menaut jabat tangan pun bergeser dalam genggaman lain. Kita tak lagi cukup merasai kehangatan yang tumpah-ruah karena lama tak bertemu sanak keluarga, sebab semua ini berkecamba melalui perangkat media sosial.
Tak heran bila istilah Lebaran Digital telah lahir. Di mana setiap ucapan dan sentuhan tangan berganti copy paste, atau ucapan yang kehilangan ekspresi kecuali kita selalu membubuhkan emoji dalam setiap kalimat yang diketikkan pada layar. Sebenarnya masih lebih baik menuliskan kata atau kalimat yang utuh dari pikiran sendiri dibanding hanya rajin mengutip kata mutiara hasil renungan orang lain.
Kata atau kalimat sendiri akan dapat menunjukkan identitas, dan kualitas majas yang mewakili diri. Sebab copas seumpama wallpaper yang indah tapi semu. Uluran tangan dalam siklus lebaran digital mungkin akan lebih garing pada hari raya mendatang. Kecuali kita mulai menyadarinya bahwa ini bagian dari potret sosial yang mesti diredefinisi sebagai kekuatiran komunal. Bahwa tradisi yang memiliki kultur tangguh ini sewaktu-waktu akan berganti halaman kenangan ala Facebook semata.
Massiara yang berasal kata ziarah ada sejak manusia mengenal sistem komunitas. Rutinitas ini kemudian terbawa dalam budaya lain, misalnya tradisi saling berkunjung satu sama lain. Bahkan ziarah kemudian menjadi bagian aspek ibadah dalam kehidupan umat beragama. Kata massiarah diserap dari bahasa Arab, ziarah bermakna berkunjung.
Ziarah salah satu praktek sebagian besar umat beragama yang memiliki makna moral. Ziarah dilakukan ke suatu tempat yang suci dan penting bagi keyakinan dan iman yang bersangkutan. Tujuannya untuk mengingat kembali, meneguhkan iman atau menyucikan diri. Dalam kbbi.we.id zi·a·rah 1 n kunjungan ke tempat yang dianggap keramat atau mulia (makam dan sebagainya); 2 v cak berziarah.
Orang yang melakukan perjalanan ini disebut peziarah (wikipedia). Istilah ziarah diperkirakan mulai familiar di Mandar sejak Islam masuk beberapa abad lalu. Tidak ada pengkhususan penggunaan kata ziarah yang diartikan mengunjungi pekuburan. Sehingga memiliki makna yang umum, semua makna berkunjung masuk pada kata ziarah. Sehingga bila kita inginkan makna khusus, maka kita harus menambahkan qoid (pengikat /pengkhususan). Lihat http://dakwahsyariah.blogspot.com.
Dalam tradisi di Mandar, Sulawesi Barat lazimnya kita mengenal dua aspek ziarah, yakni massiara pada orang yang masih hidup, misalnya tradisi yang ada usai berlebaran. Yakni melawat atau berkunjung pada keluarga yang lebih tua atau tokoh agama dengan berharap berkahnya. Ziarah ke kerabat sebagai tali/hubungan silaturahmi (silaturahim), sedangkan ziarah kubur untuk mengingat kematian (ibid).
Massiara atau nyekar ke kuqbur keluarga atau kawasan tertentu merupakan ritual yang beriringan dengan hubungan emosional dan religi orang-orang Mandar pada leluhurnya, apalagi bagi makam para pemuka agama atau penganjur Islam. Bagian akhir lebih diakrabi dengan istilah massiarai Tosalama. Penulis meyakini ini telah ada, dan tumbuh sèbelum masyarakat kita mengenal komunitas ormas apapun.
Jauh di tempat lain bahkan, rutinas berziarah tidak hanya ditujukan pada makam ulama atau Tosalama, namun juga dilakukan untuk menghormati para penyair besar yang pernah ada. Sebutnya saja untuk makam para penyair Islam klasik, seperti: Fariduddin Attar dan Omar Khayyam di Nisyabur, Persia. Makam mereka dihormati dan dijaga dengan baik. Catatan ini dapat diserap dalam The Road to Persia.
Dari catatan dan informasi yang penulis peroleh dari pegiat budaya Mandar, aqba Tammalele dan Thamrin, di wilayah Majene saja terdapat sekitar 1000 situs yang belum diteliti dari berbagai aspek. Kecuali hanya dalam bentuk pencatatan titik lokasi makam. Kita patut menduga keberadaan makam dengan nisan yang tak lazim dari segi model dan motif itu dengan “batu kuqbur” 100 tahun terakhir. Ini menyisakan imaji masa lampau mengenai praktek dan ragam massiara yang mengandung nilai spiritual tertentu. Sejak lama komunitas di Mandar tentu mengenal tata cara massiara.
Ini menegasi bahwa massiara untuk sisi kebendaan pada kuburan telah ada dan terpelihara dalam ingatan kolektif masyarakat. Lalu bagaimana dengan urusan saling melawat atau massiara pada sesama yang biasanya selalu ramai usai lebaran?
Dua model massiara ini memiliki timbangan berbeda. Yang satu sarat muatan untuk tetap menjaga hubungan masa lampau, bahkan garis lurus ke “Langit”, sedang yang lain upaya untuk terus mengikat kekerabatan komunal. Bila dekade lalu pembaca datang massiara sebagai bujangan, lebaran kali ini anda mungkin telah datang tergopoh-gopoh berkendara penuh sesak karena membawa istri dan anak-anak.
Lalu bagaimana nasib tradisi massiara ini di masa datang? Sebab pada umumnya orang-orang mulai mengembangkan hubungan sosial pun kunjungan yang lebih simple melalui aplikasi pengantar pesan. Apakah geokultur passiarang di Mandar akan tetap sekuat hari ini? Cara menaut jemari dalam jabat tangan erat pelan tapi pasti hanya mampu menampung keriangan bisu di atas keyboard telepon pintar.
Kita sebenarnya amat kaya dalam cara komunikasi sosial, namun sayang itu menjadi padat dalam ruang lempung yang amat sempit, misalnya grup komunitas di WA, Telegram, IG atau medsos lainnya. Ini selalu kita anggap lebih cepat sampai, walau tetap maya dalam pola kekerabatan yang merapuh.
Hari ini kita menganggapnya biasa saja, padahal algoritmenya dalam lengkung Lebaran Digital seolah siarah di tepi zaman. Ataukah definisi massiara atau passiarang di Mandar mungkin sedang mengarungi definisi metaforisnya di antara tombol smartphone. Apakah memerlukan redefinisi.
Sebutlah istilah mallipo, juga berarti mengunjungi, luluh sebagai massiara. Lema lipo yang sinonim ziarah tak lagi ditemukan pada banyak percakapan. Kata ini jarang digunakan seiring ketergesa-gesaan memindai hubungan-hubungan sosial di dunia maya. Sementara Lebaran Digital menggerus fantasi kita mengenai keriangan berlebaran bersama komunitas. Kala kita berjabat maaf, lambi tassilambiqna pale lima…
Tinambung, 9 Juni 2019