Sejak diberlakukannya UU no 6 tahun 2014, dalam pandangan kami ada 3 hal persoalan krusial yang senantiasa menjadi aspirasi Kepala Desa, BPD dan Kepala Desa tetapi tidak mendapatkan dukungan serius oleh partai politik, tiga hal ini sangat penting dalam membantu proses percepatan pembangunan desa. Tiga hal tersebut senantiasa disuarakan dan disampaikan oleh Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa dalam forum forum Desa tingkat daerah maupiun nasional, termasuk disampikan ke DPR, disuarakan ke anggota DPR RI saat reses. tiga hal tersebut yaitu Pertama gaji Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa sangat kecil dan dibayarkan pertiga bulan/triwulan padahal Kepala Desa, BPD dan Perangkat desa adalah pelaksanaa pemerintahan terdepan, bekerja tanpa batas waktu melayani masyarakat, sesuai regulasi gaji Kepala Desa hanya sebesar Rp. 3.600.000, Perangkat Desa Rp.2.300.000–Rp. 2.800.000, sedangkan gaji BPD minimal 20% dari siltap Kepala Desa atau sekitar Rp. 870.000 perbulan.
Gaji tersebut tentu jauh dari cukup jika dilihat pelaksanaan tugas dan fungsi pelayanan terdepan di masyarakat, sehingga Aspirasi penambahan gaji dan pembayaran gaji dilakukan perbulan senantiasa disampaikan. Kedua sejak berlakunya UU Desa Kepala Desa selalu menyuarakan tentang biaya operational pemerintahan desa, Kepala Desa adalah pelaksana pemerintahan yang diberikan mandat melakukan pelayanan 24 jam tapi tidak diberi biaya operational, menyebabkan banyak Kepala Desa “nyambi cari penghasilan tambahan dan tidak fokus” Kepala Desa dituntut sebagai pejabat yang harus memiliki operational dalam pelaksanaan tugas sehari hari. Kepala Desa umumnya menggunakan dana pribadi untuk menunjang operational pelayanan pada masyakat Ketiga Pengelolaan Dana Desa yang otonom dan mandiri dengan dilaksanakan sesuai aspirasi masyarakat melalui musyawarah desa.
Otonom dan mandiri seakan dikebiri oleh kebijakan atau regulasi turunan UU no 6 tahun 2014, sehingga keputusan Musrembang Desa, seakan hanya menjadi “Pelengkap pembangunan desa” semua diatur dan ditentukan oleh kebijakan dibuat pemerintah pusat . Tiga hal krusial tersebut oleh partai politik tidak pernah mendapatkan respon serius terlebih mendapat dukungan untuk memperbaiki bahkan sekelas Kementerian Desa sudah berganti 3 menteri tidak menjadikan 3 hal tersebut diatas sebagai persoalan yang harus direspon serius. Tiga hal tersebut dalam dialog dan menyampaikan aspirasi ke Presiden pada pelaksanaan SILATNAS DESA 2023 Presiden memerintahkan agar 3 point ini diperbaiki sesuai aspirasi Kepada Desa., termasuk diantaranya Pepres 104 tentang penggunaan Dana Desa yang penggunaannya minimal 40% harus digunakan utk biaya covid dan recoveri pasca Covid menjadi maksimal 40% juga menjadi aspirasi hingga lebih 12000 Kades menyampaikan aspirasi ke Istana dan DPR RI, saat itu tidak ada partai politik menyuarakan dukungan bahkan menerima aspirasi di DPR pun tidak dilakukan.
Belajar dari pengalaman diatas dalam hubungannya masa jabatan 9 tahun, organisasi desa dan Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa seluruh Indonesia, menilai bahwa janji masa jabatan 9 tahun untuk Kepala Desa dan BPD “bisa jadi hanya GULA GULA MANIS yang dilemparkan oleh partai politik untuk menarik simpati menghadapi pemilu Legislatif dan Presiden 2024” sebab semua tahu bahwa jika mendapatkan simpatik dan mendapatkan dukungan Kepala Desa, BPD, Perangkat Desa, sama dengan mampu mengendalikan 30-70% suara basis yang ada di desa di Indonesia. Sekarang portanyaannya benarkan partai politik serius, dan akankan Presiden setuju “sesuai dengan kalimat saudara budima Sujatmiko” yang membawa nama pemerintah bahwa presiden setuju masa jabatan 9 tahun untuk Kepala Desa dan BPD, “waktu yang akan membuktikan”
APDESI sangat mengapresiasi Menteri Desa Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Bapak Halim Iskandar yang terdepan menyuarakan masa jabatan 9 tahun, walau secara etika pemerintahan sebagai pembantu Presiden harusnya Menteri Desa wakil pemerintah mengurusi desa meminta pandangan Presiden, apakah konstruksi masa jabatan ini bisa dilaksankan atau tidak, sebab menjanjikan masa jabatan 9 tahun bagi kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa menjelang Pemilu, ibarat “membangunkan singa tidur pemilik konstituen terbesar di Indonesia”.
Apalagi ini menjelang pemilu 2024, seharusnya di pemerintahan ada kesepahaman dulu apakah ini strategis untuk diutarakan atau tidak, sebab perubahan masa jabatan akan sangat mempengaruhi siklus kebijakan, pola penganggaran dan juga koordinasi pemerintahan, sebagai organisasi Pemerintahan Desa terbesar di Indonesia, APDESI tentu menyambut baik dukungan dan perhatian partai politik, untuk merevisi UU no 6 tahun 2014, sebab kami menganggap banyak banyak hal harus disempurnakan, dilengkapi atau disesuaikan dalam perjalan 9 tahun UU no 6 tahun 2014. Dalam diskusi terbatas tiga organisasi desa, APDESI (Kepala Desa) ABPEDNAS (BPD Desa) dan PPDI (Perangkat desa), sangat memberi apreasiasi kepada Partai Politik, yang melontarkan gagasan revisi UU nio 6 tahun 2014 terlebih jika dilaksanakan di 2023 Tetapi Kepal Desa, BPD dan Perangka Desa tentu tidak akan terjebak dalam mainan politik menjelang pemilu 2024.
Karena bola panas ‘REVISI UU NO 6 TAHUN 2014” sudah digelindingkan maka tentu Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa akan menuntut balik “partai politik yang menyuarakan bola panas, janji revisi UU No 6 tahun 2014, tetapi tidak direalisasikan menjelang pemilu 2024” jangan sampai Kepala Desa, BPD dan Perangkat Desa menganggap ini hanya Godaan Nakal Partai Politik atau Politisi hanya untuk meraup suara Basis Desa menghadapi Pemilu 2024 dengan mengedepankan issu jabatan 9 tahun. Saat ini Kepala Desa, BPD dan Perangkat desa ingin melihat keseriusan partai politik atau kader partai yang menyuarakan khususnya PKB, PDIP, Gerindra, Golkar yang dalam menyuarakan revisi UU no 6 tahun 2014, agar benar benar bisa dilaksanakan sebab jika tidak terlaksana bisa jadi akan menimbulkan kampanye negative ke partai politik yang menyuarakan.
Meminjam istilah kepala desa yang demo di DPR RI bahwa janji tidak terealisasi maka “Kepala Desa akan menenggelamkan suara partai di desa di 2024’ .