Oleh Yanuardi Syukur
Walau ada yang bilang “all history is maritime history”, tidaklah berarti bahwa daratan tidak membentuk peradaban. Baik lautan dan daratan, keduanya membentuk perjalanan dan peradaban manusia. Dalam tulisan ini saya coba bahas keterkaitan lautan dan peradaban.
Masih ingat di benak kita perebutan kekuasaan atas Laut Cina Selatan. Ada 6 negara yang terlibat aktif: China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei dan Malaysia. Perebutan klaim dibarengi dengan show of maritime force di kawasan.
Vietnam misalnya, merujuk National Institute for South China Sea Studies, lembaga riset berbasis di Hainan, China, “telah meningkatkan ‘fishing militia’ (milisi perairan) dalam 10 tahun terakhir. Mereka melakukan operasi gabungan di Kepulauan Paracel dan di selatan Vietnam. Selain Paracel, Kepulauan Spratly juga diklaim yurisdiksi Vietnam.
China, bahkan mengklaim 90% dari laut seluas 3,5 juta km persegi itu miliknya. Di situ ada potensi perikanan dan cadangan bahan bakar fosil. Dibanding negara lainnya, China adalah paling kuat secara militer dalam klaim tersebut, termasuk bagaimana mereka mempersenjatai nelayan terlatih dalam kerjaan paramiliter dengan dukungan dari penjaga pantai.
Kenapa laut penting?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab. Satu hal yang pasti adalah sejak lama manusia menyadari bahwa laut adalah pembentuk peradaban. Inggris berjaya karena berkuasa di laut, pun demikian Amerika dengan sekian banyak kapal perang pada berbagai pangkalan di planet bumi ini.
Maka, penguasaan laut, dalam konteks dirasionalisasikan sebagai penguasaan atas peradaban. Apalagi, dari sudut ekonomi penguasaan laut sangat bermakna bagi income negara. Punya power dalam dagang tapi tidak punya kapal dan pangkalan juga pincang.
Sesuai garis kekuatan laut, kekuatan maritim sebuah bangsa akan kuat jika menggabungkan tiga hal: perdagangan, pangkalan, dan kapal. Produk China masuk kemana-mana, tapi jika tidak punya pangkalan–ekonomi, militer, sosial budaya–juga akan lemah. Itulah kenapa klaim atas LCS menjadi penting sebagai kekuatan peradaban sebuah bangsa.
Antropologi maritim
Ada banyak karya antropologi maritim yang membahas manusia dan laut. Estellie M. Smith menulis “Those who live from the sea: a study in maritime anthropology (1977). Neil L. Whitehead juga mengedit satu kumpulan etnografi dari Karibia, berjudul “Wolves from the sea: Readings in the anthropology of the Native Carribean (1995). Dalam buku itu, Whitehead dan kolega menemukan pluralitas identitas etnik dalam menyambut kedatangan Columbus sekaligus penolakan terhadap skema colonial ethnology.
Karya lainnya, Tanya J. King dan Gary Robinson (2019) berjudul “At Home on the Waves: Human habitation of the sea from the mesolithic to today” (2019). Di dalamnya, mereka mengeksplorasi berbagai cara–sejak lama–bagaimana manusia bisa betah dengan laut dan terus hidup akrab dengan laut.
Beberapa karya terkait laut itu menarik untuk memperkaya berbagai kajian antropologi maritim di Indonesia yang telah dilakukan berbagai peneliti. Studi terkait Suku Bajo cukup banyak dilakukan. Di Sulsel, kajian maritim terhadap menjadi idola. Saat jenjang sarjana, saya pernah terlibat dalam riset kecil di Pare-pare dan Takalar.
Bagaimana konstruksi kultural pelaut Bugis-Makassar mulai dari ritual pembuatan kapal, turunkan kapal ke laut, hingga berbagai wisdom strategi kultural yang dilakukan saat menghadapi misalnya angin puting beliung. Kerinduan terhadap sang kekasih di darat juga dipelajari, misalnya dalam versi Indonesia: “….hujan-hujan di malam hari, kukira air matamu // angin semilir kukira pesanmu tiba.” Kurang lebih seingat saya begitu.
Orang Asia kaya maritim
Kita sebagai orang Asia adalah bangsa yang kaya dengan pengalaman bahari. Pengalaman itu, khususnya dalam ‘jaringan perdagangan Samudra Hindia’, tulis sejarawan Lincoln Paine dalam “The Sea and Civilization” (2015) telah eksis sejak 4000 tahun lalu.
Bangsa-bangsa Asia Selatan (India, Sri Lanka, Maldives, etc.), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, etc.), dan Timur Jauh (Cina, Jepang, Taiwan, etc.), sudah membangun ‘spice route’, jauh sebelum pelaut Portugis Vasco da Gama berlabuh (hingga wafat pada kunjungan ketiga, 1524) di Kochi [nama Portugis-nya: Cochin]), yang sekarang jadi ibu kota negara bagian Kerala, India.
Jalur maritim ini–dalam semua penyebutan, ‘silk road’ hingga ‘spice route’–adalah saluran penting bagi pembentukan peradaban manusia karena di situ tidak hanya ada perjalanan barang, tanaman, ternak, dan manusia–bebas atau budak–tapi juga ada ‘projection of values’, pemancaran nilai-nilai yang tersebar di sepanjang jalur tersebut.
Lautan luas yang di masa lalu dianggap ‘milik bersama’ itu membuat orang bebas untuk melangkah dan mencari nafkah. Profesor David Abulafia dari Universitas Cambridge, dalam “The Boundless Sea” (Oxford University Press, 2019), menulis bahwa jaringan maritim masa lalu itu secara bertahap membentuk kontinum interaksi dan interkoneksi antarbangsa.
Bisa kita sebut juga, di sepanjang jalur itu ada interaksi manusia dalam bentuk transfer pengetahuan dan universal human values yang sampai saat ini nilai-nilai itu tampaknya masih ada. Kapal Phinisi yang dibuat di Bulukumba, bahkan dipesan khusus untuk dipakai di luar negeri. Di Madagaskar misalnya, nenek moyang mereka adalah orang Indonesia. Kalau pulang kampung, mereka juga menyebut kata yang sama dengan Indonesia: “mudik.”
Berarti, projection of values Indonesia sebenarnya sudah hadir di Samudra Hindia, bahkan tidak menutup kemungkinan juga telah ada di dua protagonis utama samudra di planet ini: Pasifik dan Atlantik. Maka, kekayaan sejarah dan kultur kita seharusnya dapat ‘dikapitalisasi’ menjadi makna-makna baru untuk mengangkat Indonesia jaya berbasis pada sejarah dan kultur maritim kita yang sangat panjang.*
Depok, 7 Juli 2021