Untuk memperdalam kualitas wartawan, kru Mandar Pos atas rekomendasi Husni Djamaluddin mesti dikadet. Mereka akhirnya diterima sebagai wartawan magang di Harian Fajar, antara lain yang ditugaskan khusus menetap sekian hari di Makassar adalah Sumardin, Rahmat Azis, Salim Madjid, dan Abdul Samad. Empat anak muda ini diantar langsung Husni Djamaluddin pada jajaran redaksi Fajar, dan bertemu Alwi Hamu.
Tabloid ini dicetak di percetakan Fajar Grafika, awalnya di Percetakan Selatan Jaya Jalan Veteran, atau di “Semut” milik teman-teman angkatan Watif saat di pesantren.
Bila Watif dan Syahrir menjadi penyandang logistik, kehadiran Armin sebagai roh dalam urusan redaksional. Sementara Hamzah memiliki peran teknis karena paling menguasai komputer saat itu. Layout tabloid bergaya edisi “Bola” atau “Detik” ini dikerjakan Mustakim, rekan Watif semasa di pondok IMMIM.
“‘Mandar Pos’ ini sesungguhnya sebagai alat perjuangan pembentukan Sulawesi Barat, karena kami melihat bahwa informasi pergerakan perjuangan kurang diakomodir media di Makassar. Menariknya kehadiran wartawan Mandar Pos saat itu sering mendapat ejekan, dan tertawaan sebagai wartawan Mandar ‘Poso’. Namun ada hal penting dari ‘Mandar Pos’ yang mampu menggerakkan warga Polmas mendemo Bupati Hasyim saat itu,” ulas Tammalele via telepon Sabtu pagi. Tammalele salah satu anggota Dewan Redaksi Mandar Pos yang juga berperan sebagai juru foto.
Saat tabloid ini akan dicetak pertama kali, tiba-tiba Husni Djamaluddin menelepon Syahrir meminta agar menyerahkan draf final layout. Husni ingin membaca seluruh karya jurnalistik kru Mandar Pos itu. Redaksinya masih mengandalkan mesin ketik dan faksimile atau mesin salin jauh.
“Tapi saya bilang, tidak usah dibawa ke sana (pak Husni). Nanti dikoreksi habis, sehingga kita tidak bisa cetak, karena pasti banyak sekali yang salah. ‘Jangan dicetak dulu,’ pak Husni bilang, ‘tulisan saya saja saya curigai apalagi tulisanmu’. Dan betul, begitu terbit, pak Husni langsung kasih kritik,” kisah Syahrir, Jumat malam.
“Mana ada pemilik tabloid diwawancarai wartawannya sendiri!” Judul besar atau HL “Hakulyakin Sulbar Terbentuk” yang memuat wawancara Syahrir Hamdani itu dikritik habis wartawan senior ini. Bahkan usul tagline “Merenda Hari Esok” tak luput dari pisau silet analisnya.
“Apa itu merenda!” Tanya Husni yang tak setuju atas ide itu.
Kelahiran “Mandar Pos” buah kebebasan pers pasca reformasi yang tidak lagi memerlukan izin penerbitan pers. Sayangnya, sebagian besar data dan dokumentasi “Mandar Pos” banyak yang hilang atau rusak. Banjir besar yang pernah merendam Tinambung menyebabkan kerusakan foto, dan kliping koran yang dimiliki kru. File yang disimpan Mustakim pun terhambur setiap kali pindah kos di Makassar.
“Mandar Pos” terbit sebagai media paling menanggung beban berat isu dan wacana Sulawesi Barat di tahun-tahun pertama. Media ikut menjadi bulan-bulanan pihak lain yang memunggungi Sulbar.
Media ini dilahirkan dalam kondisi terbatas, baik dari sisi finansial dan sumber daya manusia. Walau demikiana Mandar Pos menjangkau titik diaspora Mandar di berbagai wilayah seperti Makassar, Palu, dan Balikpapan-Samarinda. Di Mamuju rumah Ketua KAPP Mamuju, Aruchul Tahir bahkan menjadi biro tabloid ini.