Oleh Adi Arwan Alimin
Lebaran beberapa hari lagi. Jalur ke pasar yang tiap hari ramai, makin sesak bila matahari mulai sejajar ubun hingga malam tiba. Pengunjung berdesakan, beradu bahu dalam tapak lapak yang menyempit karena pedagang menaruh jualan begitu saja melewati batas los. Suasana yang ramai itu meruap wangi segala merek, dari botolan hingga isi ulang.
Orang-orang seperti sibuk tanpa pernah berhenti. Beginilah pemandangan yang mengitari setiap Ramadan akan segera berlalu. Kesibukan di pasar ini, tak menghitung bagaimana ruwetnya kompor dan talang kue di rumah-rumah, yang menyisakan bara di atas nampan beralas mentega. Saf-saf di masjid seperti berpindah ke pasar-pasar.
Makin ke ujung Ramadan, tambah pekak telinga mendengar pekik pedagang di pasar. Kian dekat lebaran, bertambah pula riuh-rendah keripuhan segala penjuru. Seliweran yang menikam ulu hati, mereka yang tak sanggup menyambut lebaran dengan segala rupa rasa mewah, dan keriangan.
Ini semacam lodra yang bertalu bagi gendang telinga keluarga Muis. Ia juga tampak amat sibuk mengurai belukar pengunjung, yang ripuh menengadah melihat rumbai baju baru yang dipajang sejurus bahu. Muis pun sama seperti yang lain, melenguhkan peluhnya diantara ribuan pasang kaki. Tetapi wajahnya tak pernah berani melihat ke atas, pada tumpukan barang diskon sekalipun. Matanya pun lebih banyak disalur pada jejak pejalan. Harga-harga baju baru di etalase telah mengeringkan ludahnya sendiri. Tenggorokannya serasa merangkak pada musim kemarau.
Muis, dari tahun ke tahun, dari lebaran ke lebaran. Tak pernah menyibukkan dirinya untuk terlena. Ia menepikan segala hasratnya. Harga untuk sepasang baju lebaran bagi anak-anaknya sama berarti sekarung beras yang dapat dimakan bersama selama dua pekan. Kadar baju baru itu ibarat buntal lauk-pauk yang dapat disantap sebulan. Ini pilihan yang memenjara rasa sayang Muis bagi anak-anaknya.
Bukan tak ingin membelinya. Sebab ia juga diam-diam sering mengintip harga yang ditulis dengan tinta pulpen itu. Matanya kerap nanar, ini semacam payu yang mengerek lehernya ke tiang. Uang dalam taksir tiada kira di kantongnya membuat sering merasa kalah.
“Ayah berjanji, akan membelikan baju baru buat kalian,” sebutnya ketika ia mengantar anaknya menuju tidur malam usai tarawih.
“Benar bapak?” Tanya anak yang sulungnya dengan riang.
“Insya Allah, … Tuhan mendengar janji bapak…“ sambil memperlihatkan tangannya ke atas, telunjuknya seperti menopang sesuatu hingga melewati langit-langit rumah mereka.
Dalam keremangan lampu pijar, yang listriknya disambung dari tetangga, Muis menganggukkan kepalanya. Janji tentang dua pasang baju lebaran itu, seperti bandul yang bergerak ke kanan dan ke kiri di benaknya. Malam yang samar mengaburkan kesedihannya di mata buah hatinya yang tak mengerti apa-apa. Hatinya getas telah melantunkan harapan itu.
***
Akhir bulan puasa telah di ambang maghrib terakhir. Anak sulung dan si bungsu itu telah puluhan kali melongokkan wajahnya di pintu. Mereka seperti menunggu sesuatu di batas portal, antara Ramadan dan Syawal ini. Bedug dari surau telah melenting diiringi takbir datangnya Idul Fitri. Namun yang mereka tunggu tak juga sampai di bibir tangga rumah kayu itu.
Wangi ketupat, buras, gogos, dan opor ayam telah merubung kampung yang berada di tepian kanal. Langit sedang menitis malam hingga waktu Isya telah masuk. Muis belum juga datang.
Sulung dan bungsu itu masih saja merapatkan wajahnya ke bahu pintu. Mana tahu, bapak mereka akan segera datang dengan gerobaknya sambil menenteng bungkusan. Ibunya telah beberapa kali meminta kedua anaknya untuk menunggu di dalam. Namun tatapannya terus sejurus jalan setapak aspirasi yang membelah perkampungan. Buah hatinya bergeming menanti suka cita.
“Bapak di mana bu…” Tanya sulung tanpa menoleh.
“Sabar saja, bapak pasti pulang…” ujar ibunya yang dapat merasakan kerisauan itu.
Ayah mereka, Muis. Belum juga hadir meski anak-anak di kampung ini telah berkeliling mengumandangkan takbir. Ada rintik air mata yang menyembul dari ujung kelopak anak sulung itu. Kepal tangannya masih menggenggam daun pintu. Gaung takbiran seolah mengetuk kegundahannya. Mungin ia tak lagi berpikir tentang gaun baru untuk dipakai berlebaran, tetapi tentang bapak mereka yang baru hari ini amat telat pulang. Ada ceruk haru menganga yang tengah mengagah di rumah kecil itu.
Muis, telah berangkat sejak subuh sebelum anak-anak itu terbangun. Ia hanya merapikan gamis lusuhnya sepulang dari masjid, dan pamit ke istrinya dalam wajah menunduk. Janji tentang baju lebaran itu membuatnya limbung ke dalam liang kesedihan. Ada baris doa yang disulurkan ketika ia mengucapkan salam sebelum melewati pintu rumahnya.
***
Nun, di tepi hiruk-pikuk jalan, seorang lelaki kuyup bersandar. Wajahnya yang lelah tidak terlihat jelas dalam guyuran hujan. Ia menepi bersama gerobak tuanya. Tangannya menggepit bungkusan. Wajahnya lebih banyak melihat ke langit. Menanti malam lebaran itu disudahi hujan. Ia ingin segera sampai di rumah.
Sementara di lajur yang bersimpangan kesibukan kendara, kegembiraan tumpah di atas kepala Muis. Tawa anak-anak dengan tumpukan baju baru paling mahal pecah di balik riben. Hilir-mudik itu seperti etalase yang melukai, yang membuat Muis minder berhari-hari setiap kali melintasi toko demi toko di kota ini. Ini mungkin hanya senda gurau yang sumir, namun bagi Muis rasanya tak ingin pulang.
Ia terus mendorong pedatinya, walau gerimis masih tersisa. Bungkusan itu digawainya erat. Ia hendak segera sampai di rumah. Sepanjang hari ini, tak terhitung berapa banyak ia menawarkan ototnya untuk memanggul apapun di pasar. Janji sepasang baju lebaran itu membuatnya tak mengingat pembuluh napasnya mengering. Inilah malam lebaran paling indah baginya… (*)
Mamuju, 19 Juni 2017
#Adi Arwan Alimin, Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Sulawesi Barat. Pendiri Sekolah Menulis. Cerpennya dimuat dalam sejumlah antologi. Penulis novel epos Daeng Rioso: Prahara Bumi Balanipa. Menetap di Mamuju.
#Cerpen ini terbit di Halaman Budaya Harian FAJAR Makassar, edisi Minggu, 2 Juli 2017