Oleh: Muh. Farrel Islam*
Satu tahun yang lalu, ketakutan terhadap infeksi virus Covid-19 menyeruak di tengah-tengah masyarakat. Ketakutan itu berbarengan dengan kelangkaan masker, kelangkaan APD bagi tenaga kesehatan hingga terbatasnya alat tes spesimen Covid-19. Keadaan ini menunjukkan ketidaksiapan dalam menghadapi situasi darurat kesehatan. Bahkan, semua pihak seperti kebingungan: harus apa dan bagaimana menghadapi Pandemi.
Berbagai opsi ditawarkan untuk mencegah penularan Covid-19. Telinga masyarakat kemudian dijejali dengan istilah-istilah asing. Istilah seperti Social Distancing dan Physical Distancing terus diperdengarkan melalui media massa dan media sosial. Implementasi dari dua istilah ini adalah membatasi pergerakan orang, melarang kerumunan hingga menjaga jarak dengan orang lain. Semua ini bertujuan untuk mencegah penularan Covid-19.
Satuan pendidikan menjadi salah satu sektor yang paling merasakan dampak dari berbagai pembatasan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pembelajaran tiba-tiba harus diselenggarakan secara Online (daring), dan Offline (luring) terbatas. Dalam keadaan ini, nasib baik menghampiri perguruan tinggi yang sepertinya agak lebih siap menghadapi pembelajaran daring. Perguruan tinggi setidaknya telah memiliki platform pembelajaran daring yang terintegrasi dengan berbagai layanan akademik. Tetapi, pada satuan pendidikan sekolah menengah dan sekolah dasar, ditemui permasalahan pelik: pembelajaran jarak jauh tidak efektif.
Melalui tulisan ini, penulis bermaksud untuk mengurai masalah-masalah yang kerap diabaikan oleh pendidik dan stakeholder yang mengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, terutama pada satuan pendidikan dasar dan menengah dalam masa pandemi.
Bagaimana Pembelajaran di masa Pandemi ini berjalan?.
Pembelajaran satu tahun terakhir ini berjalan dengan model Pembelajaran Jarak Jauh. Kristin Mars Hutabarat (2021:6) menjelaskan bahwa konsep pembelajaran jarak jauh diselenggarakan untuk mendukung proses belajar tanpa terbebani tuntutan untuk menuntaskan capaian pembelajaran yang dituntut kurikulum. Dalam penjelasan ini, pembelajaran jarak jauh diposisikan sebagai alternatif untuk mengurangi interaksi guru-peserta didik secara langsung, dengan menghadirkan pembelajaran online (daring) sebagai solusinya.
Dalam penyelenggaraan pembelajaran jarak jauh dewasa ini, sekolah yang tidak mampu menyelenggarakan pembelajaran daring beralih pada pembelajaran offline (baca: tatap muka) secara terbatas. Mekanismenya adalah guru melakukan kunjungan ke rumah-rumah siswa dengan membatasi jumlah siswa yang hadir untuk belajar. Tapi apakah ini efektif?, jawabannya adalah sangat tidak efektif.
Pengamatan yang penulis lakukan selama tiga minggu terakhir (di Kec. Tubo Sendana, Kab. Majene) menunjukkan tidak efektifnya model pembelajaran semacam ini. Hal ini terjadi karena tidak terciptanya suasana pembelajaran yang kondusif bagi siswa. Padahal, menurut Arianti dalam artikelnya di Jurnal Didaktika (2017:45) lingkungan belajar yang kondusif haruslah ditunjang dengan fasilitas belajar yang memadai, pengaturan lingkungan belajar yang nyaman, penampilan guru serta relasi guru-siswa yang positif. Penjelasan ini menunjukkan pentingnya posisi lingkungan belajar yang representatif dalam menunjang pembelajaran. Jika dihubungkan dengan keadaan pembelajaran di masa pandemi (dengan mekanisme tatap muka terbatas-di rumah siswa), maka dapat dipastikan bahwa pembelajaran semacam ini tidak dapat memberi banyak manfaat.
Pandemi dan Bencana Alam yang menghantam Pendidikan.
Belum selesai dengan masalah model pembelajaran yang tidak efektif, Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Majene dihantam gempabumi. Praktis, pembelajaran yang dalam keadaan tidak efektif itu berhenti sama sekali. Dalam kurun waktu dua bulan, tidak ada aktivitas belajar mengajar di sebagian wilayah Kab. Mamuju dan Kab. Majene yang terdampak gempabumi. Hal ini membuat sektor pendidikan semakin kritis, dampaknya dirasakan oleh siswa yang kehilangan kesempatan untuk belajar, bahkan kondisi psikologis siswa menjadi tertekan akibat kejadian ini.
Sejauh ini, penulis belum mampu memastikan apa dampak yang akan terjadi selanjutnya. Tetapi, jika hal ini boleh diprediksikan, dampak terhentinya proses belajar mengajar ini baru akan terasa enam bulan hingga satu tahun kedepan. Sementara itu, hipotesis penulis atas masalah ini masih berkutat pada kesulitan siswa dalam menjangkau capaian pembelajaran akibat terhentinya proses belajar mengajar.
Lost Learning adalah Bom waktu
Terhentinya proses belajar mengajar dewasa ini diistilahkan sebagai lost learning. Keadaan ini tidak menjadi perhatian banyak pihak, sebab nampaknya hal ini biasa-biasa saja. Tetapi, lost learning sesungguhnya adalah bom waktu yang siap menampar wajah kita di masa yang akan datang.
Lost learning tidak hanya berarti terhentinya pembelajaran, lost learning juga berarti adanya kecakapan yang tidak diraih oleh siswa. Kegagalan siswa meraih kecakapan tertentu membawa implikasi lain, yaitu kegagalan meraih kecakapan-kecakapan lainnya yang lebih kompleks. Misalnya dalam aspek numerasi, kemampuan untuk memahami perkalian bilangan akan menunjang pemahaman tentang pembagian bilangan dan pecahan. Jika siswa gagal memahami konsep perkalian, maka untuk memahami konsep pembagian dan pecahan akan menemui kesulitan. Hal inilah yang menjadi bom waktu jika kegagalan meraih berbagai kecakapan terus terakumulasi. Jika kegagalan meraih berbagai kecakapan terus terjadi, maka akumulasi dari kegagalan ini akan menciptakan satu generasi yang tertinggal.
Oleh karena itu, sebelum semuanya terlambat, para pemangku kebijakan, guru dan orang tua harus sadar dengan keadaan ini. Sebab, lost learning bukanlah hal yang wajar dan biasa-biasa saja. Ini berkaitan erat dengan perkembangan kognitif dan afektif siswa serta masa depan siswa itu sendiri.
Saran untuk semua Stakeholder
Sebelum lost learning ini berdampak buruk bagi dunia pendidikan, para stakeholder harus segera mengevaluasi model Belajar dari Rumah ini. Dinas Pendidikan terkait harus segera menyusun pedoman assesment kompetensi untuk memetakan kemampuan siswa. Hasil dari assesment ini berguna untuk merancang strategi dalam mengejar ketertinggalan capaian kompetensi siswa.
Setelah melalui tahapan assesment, sekolah tatap muka terbatas harus segera diselenggarakan bersamaan dengan jalannya program vaksinasi. Sekolah tatap muka ini harus dirancang sedemikian rupa agar tetap berjalan sesuai dengan protokol kesehatan. Harapannya, dengan diselenggarakannya pembelajaran tatap muka di sekolah, gairah untuk belajar dapat kembali muncul dalam diri siswa.
*)Penulis adalah peserta Kampus Mengajar Angkatan 1, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI