(Respon untuk Dua Festival Besar 2022)
Bunyi Eropa-Indonesia berjumpa, secara politik, menduduki peran penting dalam menciptakan kebudayaan, mampu menepis anggapan mengenai isu tentang laku stereotipikal keji kejam. Dan pertemuan silang-budaya itu pada contoh terbaik adalah Keroncong.
Ketika lagu Morisco 1880 diapropriasi dalam komedi Stambul Indo menjadi satu nomor “Nyanyian Babu” “Melayang” untuk lagu di Terang Bulan, pula “Nina Bobo” yang faktanya mendapat massa fanatik luar Hindia Belanda, melahirkan judul seperti Schoon ver van u (Meski Dikau Jauh), demikian pula dalam bahasa Prancis Je pense a toi (Aku Memikirkan Mu).
Susunan nada Hit di masa itu menggugah perhatian lelaki muda demi alunan moderen nusantara, menampakkan wajah baru dalam pergulatan musik. Dan itu tidak lain akibat genjrengan guitar warga pribumi.
Pergelaran “Beradab dan Maju” seperti material musik Guitar, Biola dan Harpsichord, disadap dan dimanfaatkan demi keuntungan genre-genre lokal, didomestikasikan ke dalam bunyian khas atau menjadi nyanyian populer di Indonesia berbasis Barat. Langkah ini rupanya punya power dalam mempertimbangkan dan menyelamatkan sisa-sisa kebudayaan di koloni.
Pasca kemerdekaan, kasus kilas balik kolonial pada rancangan rumah atau arsitektur “tempo dulu” luapan sentimen historis dadakan komunitas perkotaan, keliling membentang kota tua dengan ayunan sepeda Onthel berkostum jongos kolonial. Menarik karena jejaknya cenderung diiring nyanyian tembang lawas keroncong sebagai pendamping yang cocok, lalu dimengerti atau mendapat julukan “Nostalgia Kolonial” terawat segar, menjalar turun hingga ke seluruh Nusantara.
Fokus untuk jalur Makassar. Terlacak 1930 saat suara khas Mestizo masuk ke Sulawesi, kuat memanjakan harmoni gambus, lalu rambang-rambang yang belakangan dimengerti untuk sebuah “Orkes Toriolo” dan tentu pula sampai ke Mandar, memboyong nada-nada terbaru yang teradopsi.
1950 an, pendatang keturunan Manado-Ambon-Jerman melakukan aktifitas musik keroncong di Makassar, lalu tiba di Mandar dan beristri dengan bangsawan Mapilli. Ia bernama Mamahid, piawai dalam segala instrumen musik, membawa pengalaman Keroncong hingga membentuk suatu wadah. Ini pula yang mendasari para pemuda 1962 pada musik campur (Band) yakni Kesuma, Menuju Karya Jaya atau cikal bakal Karisma Band. Munculnya Keroncong di Mandar tidak berarti sepenuhnya awal hibrid untuk musik luar, tetapi jauh sebelum itu, Gambus dan mainan guitar tunggal sudah dominan.
Sementara paling mengesankan diantara sejumlah suara hibrid ini, Losquen dianggap budaya terkini atau style baru bagi pendengar setia yang sedang dilanda asmara, sehingga petikan Los dalam Portugis yang berarti itu “menghilangkan” lalu Quen (lima), atau memainkan senar satu untuk melodi sembari menggerakkan Ibu jari memainkan Bass, menjadi petikan penting dalam garapan campuran Instrumen. Ini menyebabkan munculnya para pemain lokal secara tunggal, menemukan pertunjukan yang segera disambut sebagai kesenian tradisional “Sayang-sayang”.
Pada posisi ini, denting dawai guitar dari satu diantara bunyi khas Ensambel Keroncong, Gambus, maupun Rambang-rambang atau Orkes Toriolo, metode main selalu tersedia pada apa yang disebut dengan Losquen, menuju kemayoran Losquen, Karrambangan, kembang-kembang, Anduru’dang, Padang Pasir, Pattolawali (Galung Lombo), Topole di Walitung, Ko’bi Kres, Rawana dll.
Losquen merambah pelan, memasuki ruang ekspresi pelantun-pelantun Mandar sejak 1930, berkembang pesat, lalu tidak jarang mereka mengaplikasikan pengetahuan untuk lebih meroketkan status sebagai kesenian khas Tradisional Sulawesi Barat. Para kelompok-kelompok di era milenial pun makin sayang pada “Sayang-sayang” dengan secara serius mengikuti pendahulunya.
Losquen dalam Ensambel gambus, orkes toriolo dan keroncong kian disebut “Sayang-sayang” kini kembali setelah kelompok Tipalayo, Tarakan, dan Pikko era 60-70 an, menginspirasi bagi komunitas seperti Teater Flamboyan, Uwake Culture dan Sure’Bolong, di era 2000-an, selalu mengisi konsep alunan Losquen kendati bukan lagi yang utama. Tidak mengejutkan, Muhammad Ishaq Jenggot seorang musisi dan pencipta lagu Kota Tua Majene, saat ini bersama dengan dinas Pariwisata, para komunitas Majene dan Uwake Culture Fundation sedang bersemangat menyambut Festival Kota Tua, hingga lagu Themsongnya tergarap dengan rapih, dan segera menjadi jalan pengingat masa silam kota bekas koloni di Mandar.
Losquen menjamu penikmat lewat petikan dari lentik jari profesional, semakin memperlihatkan eksistensi lewat kelompok “sayang-sayang” derajatnya agung dengan hadirnya dua Festival dalam dua tahun ini 2021-2022. Festival Kota Tua dan Mandar Dawai Etnik yang dirawat baik oleh dinas Pariwisata dan Pendidikan kebudayaan atau beberapa minggu mendatang lewat UPTD Taman Budaya provinsi Sulawesi Barat.
Mandar Dawai Etnik Festival kembali akan digelar tahun ini, oleh karena ia termasuk dalam daftar kalender even besar Taman Budaya 2022, sengaja digagas untuk mengkaji dan menemukan keistimewaan citra-citra bunyi petikan yang telah dibangun dan diwarisi oleh pendahulu di Sulawesi Barat, khususnya Losquen, diyakini selalu menjadi penyanggah Kota Tua dan Taman Budaya di Sulawesi Barat. Amin.
Pustaka: R. Anderson Sutton. 2013, Lutgard Mutsaers. 2014, Bart Barendregt, Els Bogaert. 2016, Mahganna. 2020, Harta Jaya. 2022.