MANDARNESIA.COM, Majene — Rangkaian kegiatan Fase Rawat Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2024 Sulawesi Barat baru-baru ini dilaksanakan di aula SMA 2 Majene, yakni lokakarya bertema “Harmoni Manusia dengan Alam: Perspektif Agama dan Seni,“ Ahad, (10/11/2024).
Lokakarya diikuti sekitar 100 peserta yang berasal dari berbagai latar belakang, siswa SMA dan SMK di Majene dan Polewali Mandar, mahasiswa Universitas Sulawesi Barat dan STAIN Majene, periset PKN, dan beberapa aktivis budaya dan seni Sulawesi Barat.
“Kegiatan kita sekarang ini adalah rangkaian dari banyak Fase Rawat PKN, baik yang kami laksanakan maupun PKN-PKN di provinsi lain. Di Pulau Sulawesi ada tiga, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah. Dalam kegiatan ini kami melibatkan lebih 30 komunitas dan individu. Ini kolaborasi luar biasa sebagaiman yang diharapkan bahwa PKN harus bersifat kolaboratif,” jelas Muhammad Ridwan Alimuddin, koordinator Tim Kerja Fase Rawat PKN 2024 Sulawesi Barat saat membuka acara.
Sebagai peneliti kebudayaan Mandar, Muhammad Ridwan menyampaikan bahwa penting memahami tradisi “sando” sebab bisa dikatakan itu esensi proses hidup manusia Mandar.
“Kurang lebih 20 tahun lalu saya memulai riset tentang Kebaharian Mandar. Saya mendapati ada tradisi di sini yang namanya ‘ussul’. Orang Mandar itu, kalau berdoa, kadang menggunakan benda atau praktik yang ada simbol harapan di situ. Harapannya, sifat yang dimiliki benda itu terwujud dalam apa yang diharapkan. Misal, anak tangga rumah-rumah di Mandar selalu ganjil harapannya, supaya rezeki datang menggenapi,“ sebutnya.
Dalam kegiatan lokakarya juga membagikan tulisan berjudul “Ussul”, Anak Kunci Memahami Praktik Ritual dan Mistik di Mandar.“
Lokakarya menghadirkan dua pembicara, yaitu Nyak Ina Reseuki, kurator nasional PKN dan Ustadz Munu, ulama dari Pambusuang. Acara dimoderatori pegiat literasi, Muhammad Thamrin.
“Lumbung itu menjadi kekuatan pendorong utama kita, menjadikan ini adalah kerja yang kolaboratif, tidak kerja diri sendiri. Bagaimana kita memaknai dan mengelola sumber daya yang tidak hanya melulu tentang dana. Tapi ada ruang, ada arsip, gagasan, pengetahuan dan tenaga. Nah itulah pelumbungan yang kami percayai bisa mempertemukan kita. Konsep lumbung ini bukan tema tapi dia metode pemajuan kebudayaan. Bagaimana ide ini kita kelola bersama-sama sebagai sumberdaya kebudayaan yang mencerminkan sebuah langkah yang besar. Sifatnya lebih egaliter, bersifat dinamis dan interaktif. Bagian yang interaktif itu mungkin terjadi di program residensi,” urai Nyak Ina Reseuki yang juga dosen di Institut Kesenian Jakarta.
Ustad Munu menjelaskan tradisi per-sando-an di Mandar dari sudut pandang agama Islam. Paparnya, “Dalam tradisi Mandar, ada dibilang “sando pianaq,” yang meskipun nilainya sudah berkurang karena regulasi modern, tetap memiliki makna mendalam.
Dulu, banyak orang Mandar yang percaya bahwa seorang dukun bisa membantu proses persalinan tanpa operasi, hanya dengan bisikan dan sentuhan pada beberapa titik tertentu. Tradisi ini menunjukkan bahwa orang Mandar memiliki filosofi dan keyakinan yang kuat dalam membangun hubungan dengan alam dan Tuhan.
“Mereka percaya bahwa segala sesuatu memiliki jiwa dan memuji Tuhan. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha menjaga keharmonisan antara manusia dan alam, serta memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak. Dalam perspektif agama, berdoa tidak memiliki indikator bahasa tertentu. Siapapun bisa bermunajat kepada Tuhan dalam bahasa apapun. Tradisi dan keyakinan ini menunjukkan betapa kaya dan beragamnya budaya Mandar dalam menjaga hubungan dengan alam dan Tuhan,” tutup Ustad Munu. (Rls/WM/*)