Lembah Marano, Surga di Kampung Transmigrasi

Oleh Sudirman Syarif

LEMBAH Marano enak dipandang. Wisatawan yang datang di sana menyebutnya sebagai Negeri di Atas Awan. Matahari terbit, lembah ini memamerkan gugus bima sakti.

Saat sinar fajar pertama mengintip dari kegelapan, inilah saatnya untuk momen ajaib menyaksikan pertunjukan Negeri di Atas Awan Marano.

Lautan awan yang luas menghampar di cakrawala dan terbentang oleh matahari yang perlahan menembus langit sebelum memancarkan cahayanya melintasi langit, awan dan gunung.

Melihat pemandangan megah, saat matahari muncul secara dramatis dari cakrawala, memancarkan sinar keemasannya yang menembus lautan awan yang tak berujung, menjadi momen yang tak akan dilupakan.

Dari atas ketinggian, awan putih yang menyelimuti lembah mengepul, menyambut wisatawan yang bersusah payah datang ke sana, ini seperti sedang dekat dengan pintu surga.

Letaknya berada di Desa Marano, sekitar 15 kilometer dari jalan trans Sulawesi Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Dari titik inilah petualang kami dimulai.

Kami memulai perjalanan, namun satu per satu kendaraan kami takluk dari beratnya medan menuju sebuah desa yang dihuni sekitar 100 kepala keluarga. 11 tahun lalu, perkampungan ini didiami sekitar 400 kepala keluarga. Mereka merupakan warga transmigrasi dari Bandung. Namun sebagian dari mereka telah kembali. Pondoknya kini ditumbuhi ilalang.

Iklan

Seperti kami datang di waktu yang tidak tepat, hujan memperberat medan untuk dilintasi. Padahal jarak yang harus ditempuh masih seperdua dari jalan rusak yang telah dilalui.

Setapak demi setapak, gunung demi gunung berhasil ditaklukkan. Namun malam tak bisa ditolak, gelap benar-benar telah datang. Seperti lorong waktu, cahaya senter di tengah gelap malam rimbun hutan Marano, menjadi penanda bahwa rombongan tetap bergerak sesuai rute.

Tim terpisah dalam empat rombongan, rombongan pertama berjalan paling depan, jaraknya sekitar dua kilometer dari rombongan kedua. Rombongan itu tergabung beberapa wanita dan seorang anak usia sekolah dasar.

Menyusul dari belakang, dua rombongan. Paling belakang, mereka terpisah dari rombongan setelah memutar balik kendaraan, mencari tempat aman untuk memarkir kendaraan. Sebelum kembali berjalan.

Di depan ada Aco dan Ardi, pendaki lokal yang memandu rombongan hingga kembali dari perjalanan. Fisiknya jelas menjawab bahwa ia cukup mengenali jalur itu.

Setelah berjam-jam, kami menerima kabar bahwa Honda WIN berhasil melintas di jalan ekstrem yang tak bisa dilalui. Jokinya Ahmad Jayadi, mantan pembalap nasional yang kini berkeja di KPU Sulbar. Bagi pengendara yang memiliki kemampuan terbatas, jalan ini amat berat. Butuh keahlian mumpuni untuk menaklukkannya.

Untuk warga sekitar, mereka hanya butuh beberapa menit mengendara untuk sampai di perkampungan itu.

Dalam gelap, rombongan terus berjalan sambil menghemat energi. Kami paham tak bisa berlama-lama beristirahat. Sebab dingin telah menusuk hingga tulang, hujan malam itu benar-benar awet hingga rombongan tiba di pendakian terakhir, sebelum sampai Desa Marano.

Motor WIN tua itu sepanjang jalanan membelah sepi di tengah hutan. Malam Jumat (18/6/2021), ia benar-benar bekerja keras, mondar-mandir mengangkut barang, meletakannya di tengah perjalanan, lalu kembali untuk menjemput.

Menjelang pukul 11.00 Wita, sampailah di perkampungan dengan tenaga yang tersisa. Di bawah balai desa, kami memasang tenda dan menginap.

Cerita beberapa orang yang mengalami peristiwa gaib di sepanjang perjalanan menutup obrolan malam itu. Beberapa orang telah masuk ke dalam tenda dan beristirahat.

Di luar, beberapa mereka yang masih bertahan, asyik bercerita, meneguk kopi dan menghisap gulungan tembakau, hingga mereka lupa bahwa waktu telah sampai di pukul empat subuh.

Kami belum sampai di spot yang dituju. Masih berjarak sekitar 300 ratus meter dari balai desa. Sisa perjalanan itu akan dilanjut esok pagi.

Malam telah berlalu di Marano. Pemuda bertubuh gempal itu, mendadak membangunkan kami, meskipun dingin yang menusuk lebih awal memaksa untuk membuka mata.

“Ayo, awan yang kita tunggu sudah tampak.” Opik meminta rombongan untuk bergegas.

Langkah kami kalah cepat, sebagian awan telah memudar, tapi pemandangan indah masih terlihat jelas. Dari balik tebing curam, hamparan awan putih mengisi penuh lembah Marano.

Samudera awan, hutan yang masih terjaga, matahari yang menimpakan cahaya keemasan, membawa wisatawan dalam kisah bahwa dongeng Negeri di Atas Awan benar-benar ada. Angan-angan akan kemunculan bidadari tentu berkecamuk karena serasa sedang dekat pada pintu surga. Momen itu tak kami lewatkan untuk diabadikan dalam foto.

Sekembalinya ke balai desa, mereka yang tidur belakang kembali bercerita tentang peristiwa aneh semalam. Mereka mencocokan cerita, apakah juga mendengar suara desahan perempuan yang sedang tertawa di tengah malam.

Mungkin saja mereka lelah, sehingga mendengar suara burung yang menyerupai suara wanita yang sedang menertawakannya.

Sebelum siang, kami segera turun, dan kembali. Langit, hutan yang spektakuler dan menakjubkan, menginspirasi nafsu berkelana untuk kembali ke Marano.