Kuliah Malam Bang Atal S. Depari

Kuliah Malam Bang Atal S. Depari -

Oleh Adi Arwan Alimin

KATA menjadi sesuatu yang spesifik. Kumpulan fonem ini merupakan ruh penentu kualitas wartawan. Kekayaan diksi menunjukkan kelas seseorang dalam mengolah informasi, dan menenun nilai dalam setiap karya jurnalistiknya. Apakah maujud berita atau reportase berbeda.

Saya cukup lama tak banyak bercuap-cuap di newsroom untuk memandu wartawan. Tetapi, Rabu (13/9) malam, atmosfir ini bak bergemuruh ketika sosok Atal S. Depari, Wakil Ketua PWI Pusat, Bidang Pembinaan Daerah menularkan kisahnya.

Tiga meja Warkop 89 disatukan. 16 lelaki yang seluruhnya pekerja media duduk dengan cangkir yang sudah setengah. Penulis hadir sebagai pengurus PWI, yang berstatus Luar Biasa. Karena tidak lagi aktif di newsroom beberapa tahun ini, sejak bekerja di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Barat. Di PWI memang tertulis Empat status Keanggotaan: Muda, Biasa, Luar Biasa, dan Kehormatan.

Meski jam dinding telah menunjuk angka 23.30, namun suhu PWI Sulbar Andi Sanif Atjo, Mursalim Madjid, Alaluddin, Mustafa Kufung, Abdul Halim, Andika, Iksan Iccang, Laode Muhadi, Muhammad Sholihin, Sabaruddin, Sarman Sahuddin, Juhaenis, dan Ashari Rauf tetap bertahan. Mungkin pengaruh kopi kental bersusu. Hembus angin malam yang disisakan hujan juga membuat tak bergeming.

Pengalaman panjang Atal sebagai pendiri banyak media, atau wartawan yang telah malang melintang di tanah air bahkan meliput ke mancanegara sejak era 1980-an, sungguh menarik. Figur ini yang melahirkan Harian Umum Suara Karya, Berita Kota Jakarta, majalah olah raga sekelas GO yang menjadi pesaing utama BOLA.

Ia juga menginisiasi beberapa surat kabar di sejumlah provinsi, misal di Palangka Raya dan Sumatera Selatan. Atal mulai merintis karir sebagai korektor di media hingga ia mampu menjadi redaktur papan atas di Indonesia. Bahkan ia mengaku pernah jadi tukang bikin kopi bagi senior-seniornya saat mulai belajar jadi wartawan.

Saya menyimak dengan sungguh-sungguh setiap kalimatnya. Meski paparan asap tembakau bagai gerombol awan di atas kepala kami agak menyesak nafas karena penulis bukan ahli mengisap. Usia lelaki yang masih energik ini telah mencapai 63 tahun. Karakternya cukup khas meski terlihat dapat mengadaptasi kami sebagai junior dalam segala hal.

“Paling penting buat wartawan, terus jaga keterampilan menulis kalian.” Kalimat itu diulang beberapa kali dalam obrolan santai, meski nadanya mewakili garis bawah. Ia mengaku miris melihat realitas wartawan kelas bodreks, atau CNN alias datang Cuma Nengok-Nengok.

Menurutnya, perkembangan media dewasa membuat margin persaingan pasar makin tipis. Disebutkan oplah media cetak makin drop, dan itu terjadi pada semua media di tanah air. “Untuk mengatasi hal ini, surat kabar harus mengubah metodenya. Tampilkan sesuatu yang lebih mendalam.”

Karya jurnalistik media atau wartawan akan sangat menjadi penentu. Cara berpikir yang tak lagi produktif dianggapnya sebagai masalah utama. Hal itu ditegaskan sebagai penentu masa depan media.

“Media harus memperhatikan angle. Tapi kita juga jangan mengorbankan pembaca. Skill wartawan itu utama, agar mereka mampu membuat pendalaman,” saran Atal. Seraya mengatakan, “Belajarlah menulis sesuatu dari hal yang sederhana atau paling kecil, dari hal itu bisa lahir feature yang hebat. Yang asyik.”

Lalu apa kunci sukses Abang? “Saya sejujurnya sangat disiplin. Saya bisa nggak tidur semalaman karena harus memikirkan feature apa yang terbaik untuk terbit besok pagi.”

Atal, saat berada di Spanyol meliput Olympiade, mengaku pernah harus mandi di sungai hanya karena ingin merasakan sensasi air dingin di sana. Cara itu untuk memperkaya laporannya mengenai destinasi wisata yang akan muncul di halaman utama Suara Karya. Sayangnya, timpalnya, banyak juga wartawan yang malas belajar.

Wartawan yang berkualitas akan mampu menghasilkan berita yang berkualitas pula. Keterampilan menulis harus terus dijaga dengan cara belajar. Setiap wartawan, tambah Atal, hendaknya memahami bahwa pada setiap berita selalu ada cerita yang menarik didalamnya.

Ia mencontohkan, bila timnas kalah, berita tidak semata-mata berakhir diskor akhir, tetapi mesti ditulis dari angle berbeda. “Sehingga semua tidak ikut takluk, jadi masih ada semangatnya,” ulas figur yang hadir khusus untuk mengawal proses persiapan konferensi PWI Sulbar tahun 2017.

Gerimis Rabu malam, usai jelang pukul 24.00. Beliau lalu menyalami setiap orang yang hadir di warkop dan segera kembali ke hotel Srikandi. Penulis bersama Mustafa Kufung, Alaluddin, Mursalim Madjid, dan Abdul Halim masih berdiri di parkiran, menaut beberapa catatan pinggir bang Atal S. Depari. Sementara yang lain seperti Sarman Sahuddin, Laode, juga berkemas pergi.

Kuliah singkat malam ini menyadarkan wartawan jangan mudah cepat puas. Harus belajar sepenuh waktu. Kelemahan terbesar sebagai besar orang di media atau wartawan, salah satunya karena mereka banyak yang merasa pintar. “Padahal nggak mau belajar, saya aja masih ikut asesmen, itu untuk meng-upgrade diri. Tetap harus menguji kemampuan kita,” simpulnya diakhir dialog.

Jalan ke arah pasar baru masih menyisakan beberapa genangan air ketika pulang bersama Ala, lelaki berkumis tebal itu. Kami membincang sisa diskusi sepeminuman kopi barusan, -penulis ngeMilo, juga mengenai agenda mendesak PWI Sulbar 30 hari ke depan. Bentang malam disusur dengan busur lampau untuk organisasi yang kian uzur. (*)

Mamuju, 14 September 2017