Yogyakarta, Mandarnesia.com- Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Disbud DIY) bersama dengan Ikatan Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia (IKPMDI) mengadakan Gelar Budaya Etnis 2020 “Selendang Sutera (Semarak Legenda Suku Se Nusantara)” yang melibatkan seluruh provinsi di Yogyakarta.
Acara ini merupakan acara tahunan yang digelar dengan tujuan untuk menghadirkan toleransi guna menghindari adanya gesekan antar suku di Yogyakarta—kota dengan kulturasi budaya yang beragam.
Tak sama dengan tahun-tahun sebelumnya, Selendang Sutera kali ini digelar dengan suasana yang berbeda. Bertepatan dengan kasus Covid-19 di Indonesia yang sampai saat ini masih mengalami peningkatan kasus secara signifikan.
Hal tersebut, menjadikan gelaran Selendang Sutera dilaksanakan secara virtual, dengan tiga sesi pelaksanaan yaitu dari bulan September hingga November 2020. Target penampilan sebanyak 36 dari 34 provinsi yang ada. Salah satu diantaranya ialah (Ikatan Pelajar Mahasiswa) IKPM Sulawesi Barat yang dalam hal ini diwakili oleh Komunitas Rumah Mandar Yogyakarta (KORMA), pada Senin 19/10/20, di Asrama Mahasiswa Todilaling.
Elvanno, ketua KORMA Yogyakarta mengatakan bahwa IKPM Sulbar sendiri mendapat sesi ke-dua yaitu pada bulan Oktober, bersama dengan IKPM lain, diantaranya Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Riau, Aceh, Kalimantan Selatan, Sematera Barat, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Papua, Papua Barat, serta Maluku, berdasarkan undangan dari Disbud. Dalam hal ini, Sulawesi Barat mengambil tanggal 19 dengan pertimbangan anggota yang sebagian besarnya masih berada di kampung halaman
“Ya. salah satu alasannya, karena untuk menunggu kepulangan teman-teman lain serta untuk menyiapkan sesuatunya agar lebih matang lagi” ungkapnya.
Pelaksanaan Selendang Sutera yang berbeda ini, bukan berarti tidak mengalami kendala, terutama dalam hal teknisnya. Seperti yang diungkapkan oleh Divo selaku Suteradara pementasan KORMA. Bahwa ada beberapa kendala dalam pelaksanaan ini, yaitu pada pra pementasan dan saat pentas berlangsung.
Kendala saat pra pementasan sendiri terletak pada kuliner khas Mandar yang bahan-bahannya tidak selalu bisa dijumpai di Yogyakarta. Selain itu juga pakaian adat yang masih terbatas. Sehingga membutuhkan kreativitas lebih agar pementasan dapat berjalan dengan semaksimal mungkin.
Sementara saat acara sedang berlangsung, cuaca sedang tidak bersahabat. Sekitar setengah jam sebelum pementasan—jam pentas 02.00 WIB, hujan turun. Pementasan yang dilaksanakan secara outdor tentu mengalami kendala.
“Hampir seluruh area pementasan terkena air hujan, panggung dan beberapa properti seperti pallang basah, belum lagi skejul harus diubah. Awalnya pengenalan kuliner khas Mandar yang berada di akhir, harus dipindah di awal acara untuk menghemat waktu, dan beberapa kendala lain.” Ungkapnya saat diwawancarai via Whatsapp.
Adapun tema yang diangkat ialah “Peran Rawana dalam Prosesi Metindor”. Berdasarkan penuturan Divo, tema tersebut diangkat dengan alasan karena prosesi pernikahan di Mandar yang unik dan berbeda, ditambah tabuhan rebana sebagai hal wajib ada di dalamnya. Selain sebagai sarana hiburan, juga edukasi bagi generasi penerusnya.
Lengkap dengan tari pattuqduq, kalindaqdaq dua bahasa (Mandar-Indonesia), properti wajib seperti ande kaweng, pallang, dan lain sebagainya. Tidak luput pula makanan khas seperti bau peapi, jepa, cucur, gogos, burongko, tetu, juga sokkol turut ditampilkan.
Jika gelaran Selendang Sutera tahun-tahun sebelumya dilaksanakan secara meria, dengan estimasi peserta yang tidak terbatas. Tahun ini justru sebaliknya, karena kondisi Covid yang memaksa untuk tetap memenuhi protokol kesehatan serta pengurangan jumlah orang dalam suatu perkumpulan, memberikan kesan tersendiri. Pelaksanaan pentas dilaksanakan di asrama masing-masing.
Seperti yang diungkapkan oleh Muqtadir, salah satu pemeran dalam pementasan tersebut. Bahwa tentu saja dua kondisi ini meciptakan dua jenis moment yang berbeda pula. Sebelum dan sesudah pandemi memiliki sensasinya tersendiri.
“Sebenarnya keduanya memiliki sisi positif masing-masing. Pementasan sebelum pandemi menjadi salah satu ajang pengenalan, kita dapat bertemu dengan orang-orang dari berbagai daerah. Sedangkan tahun ini, malah menciptakan suasana kekeluargaan yang lebih erat di internal Sulawesi Barat. Banyak waktu bersama diantara teman-teman, mulai dari penyusunan konsep hingga acara berlangsung”. Tandasnya.[]