POLEWALI, Mandarnesia.com — Usman Yunus pria berusia 30 diculik kelompok Abu Sayyaf selama dua bulan 29 hari. Peristiwa itu terjadi saat ia menangkap ikan di Perairan Sabah, Malaysia. Ia kini telah tiba di kampung halamannya, di Polewali Mandar Sabtu (15/12) lalu. Selama disekap Syamsul mengaku mendapat perlakuan yang baik dari para perampok.
Ia ditahan bersama Syamsul Saguni warga Majene satu rekannya yang juga diculik saat berada di kapal yang sama, Dwi Jaya I. Akhirnya mereka hidup dalam hutan ia hidup berpindah-pindah.
“Selama kami di dalam hutan kami berpindah-pindah dan tidur di atas samacam hammuck. Setiap aktivitas yang kami lakukan selalui diawasi dua penjaga yang membawa senjata lengkap,” kata pria yang sesuangguhnya memiliki nama Hamdan Yunus, nama Usman hanya tertera dalam paspornya, akunya saat berbincang via telepon dengan mandarnesia.com, Senin (17/12/2018).
Di hutan, Usman tidak pernah kesulitan soal makanan, setiap kali stok makanan akan habis, selalu ada warga yang menyuplai bahan makanan bagi kelompok yang dipimpin bernama Diky.
“Jika ada operasi militer yang akan dilakukan militer Filipina, pasti kami bersama kelompok akan bergerak berpindah dan bersembunyi. Karena ada orang yang telah memberi informasi ke kelompok tersebut bahwa akan ada operasi. Kami baru akan kembali ke tempat tersebut setelah situasi aman,” ungkapnya.
Awal penculikan yang dialami sekitar pukul 01.00 dini hari waktu setempat. Tiba-tiba delapan orang kelompok Abu Sayyaf mendatangi kapalnya dan menangkapnya bersama Syamsul Saguni. Di kapal tersebut sesungguhnya ada lima orang awak. Sebagian dari mereka berhasil meloloskan diri dengan cara bersembunyi.
“Saat itu saya sedang sakit sehingga tidak bisa bersembunyi, sementara Syamsul sempat bersembunyi dengan cara menimbun dirinya dengan pukat, namun kakinya terlihat oleh perampok. Setelah di bawa ke darat, dua orang datang menggunakan motor dan membawa kami ke dalam hutan,” tuturnya.
Kesempatan melarikan diri ia dapatkan pada saat hendak buang air. Tak biasanya hari itu sama sekali tak ada pengawalan yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf.
“Biasanya kemana pun kami pergi kami selalu diawasi, wudhu, kencing bahkan buang air besar sekali pun. Saat itu saya lihat tidak ada orang. Saya mencoba berlari sekitar 50 meter, saya lihat tidak ada yang mengejar, kemudian saya berlari ke dalam hutan selama satu jam,” ujarnya.
Sekitar pukul 07.00 Usman memutuskan berhenti karena tak bisa lagi melihat jalan. Dengan nafas ngos-ngosan, tenaganya mesti ia simpan untuk mencari pertolongan esok harinya.
“Saya kemudian naik ke atas pohon dan bermalam di atas. Setelah selesai sholat Subuh saya kemudian melanjutkan perjalanan dengan menuruni bukit. Empat jam saya berjalan dan menemukan sebuah rumah dan perlahan melewati perkampungan. Namun tak satu pun masyarakat di sana yang menegur saya,” tuturnya.
Tibalah ia di jalan utama yang berdekatan dengan pantai. Saat itu keadaan sudah terasa aman dan mulai mencari pertolongan. Seorang bapak yang sedang mengantar anaknya ke sekolah coba ia mintai pertolongan. Sayangnya warga tersebut tak mengeri bahasa Melayu yang digunakan Usman.
“Saya cuim tangannya, saya cium kakinya, dan mengatakan tolong saya. Saya orang Indonesia tolong selamatkan saya. Seseorang bapak yang membuka lapak jualan di sekitaran jalan tersebut pun datang. Ia berbicara kepada saya dengan menggunakan bahasa Melayu. Ia mengajak saya ke rumahnya dan memberi minun kopi,” jelasnya.
“Tenang kamu sudah selamat,” kata bapak yang meyelamatkan Syamsul. Tak lama kemudian beberapa orang datang dengan menggunakan motor, bapak yang tua itu kembali berbisik ke pada Usman bahwa orang tersebut merupakan kepala suku di desa tersebut.
Orang tua itu membantu Usman menjelaskan kepada kepala suku bahwa ia adalah warga negara Indonesia yang diculik.
Bapak tersebut menguasai bahasa Melayu setelah beberapa tahun bekerja di Sabah, Malaysia.
Warga kemudian membawanya ke pangkalan pos militer. Di lokasi itulah Usman benar-benar telah merasa aman.
Namun sayang, Syamsul Saguni saat ini masih berada dalam tawanan kelompok Abu Sayyaf di belantara Filipina.
Reporter: Sudirman Syarif