Kisah Dua Sahabat, Alimuddin Lidda dan Hasan Sulur

SAYA bersaudara dengan Hasan Sulur. Dalam beberapa hari ini saya selalu bermimpi tentang dia. Sosoknya tidak pernah luntur di mata saya, karena dia juga mengatakan saya sebagai saudaranya. Kami memiliki sejarah tersendiri. Banyak yang kami rintis dengan beliau sejak bersama di KNPI Polewali Mamasa. Pejabat-pejabat yang kemudian berkiprah di belakang itu merupakan hasil pengkaderan. Yang paling berkesan dan bersejarah tentu saja saat sama-sama di DPRD Polmas. Teman-teman atau adek-adek itu selalu mengatakan bahwa guru mereka itu pak Hasan dan pak Alimuddin.

Kerja sama kami dengan pemerintah kabupaten saat itu betul-betul sinergi. Kami benar-benar menjalankan peran sebagai pengawas dan mereka sebagai pelaksana, jadi legislatif dan eksekutif itulah yang disebut sebagai pemerintah. APBD disahkan di DPRD yang melaksanan adalah pemkab, sekarang saya melihatnya kurang lebih tidak seperti itu. Makanya dulu saat ada demosntrasi di DPRD kami selalu mengatakan, APBD memang disahakan di sini, tetapi kalau kalian menemukan masalah kita bisa sama-sama ke pemkab. Jangan kami yang didemo. Karena posisi kita sama sebagai pengawas.

Bahkan dahulu kami pernah mendatangi BPK karena mereka pernah datang ke pemkab tapi tidak singgah di DPRD. Sementara menurut peraturan mereka harus ke DPRD karena memiliki kesamaan dalam hal pengawasan. Mereka memeriksa keuangannya kami mengawasi pelaksanaan. Jadi mereka harus singgah ke DPRD karena kami ingin memperlihatkan hasil pengawasan, kalau mereka datang tidak singgah begitu pula kalau pulang, kami pusing di DPRD. Makanya pernah saya mengajak kawan-kawan di DPRD untuk menghadap mereka di Makassar, untuk mencocokan hasil pengawasan kami. Akhirnya kami dapat mempertemukan hasil pengawasan. Itu periode 2004-2009.

Jangankan itu kami juga pernah ke Jakarta, menghadap langsung ke KPK karena menemukan alih fungsi yang tidak izin atau pemberitahuan ke DPRD, sebab itu menyangkut aset. Waktu itu saya bersama pak Hasan, pak Said Sidar dan Karman, kami berlima tetapi saya lupa siapa lagi yang satunya. Kami keberatan sebab sebelumnya tidak ada pemberitahuan, saya kurang tahu apakah ada orang KPK yang turun namun persoalan itu kemudian dapat kami selesaikan dengan pemerintah kabupaten. Saat itu memang ada teguran, lalu akhirnya dapat dibicarakan bersama DPRD.  Dan tetap mengembalikan fungsi kantor bupati lama itu sebagai area perkantoran. Dengan fungsinya sekarang saya kira itu tidak apa-apa, karena tetap ada kantor dan pemanfaatan untuk publik, yang ingin saya tekankan mengenai fungsi pengawasan yang mesti jalan bagi DPRD.

Kembali ke pak Hasan. Saya bertemu sejak kami sekolah di Makassar, saya di PGA, Pendidikan Guru Agama Atas sementara dia di APDN. PGA itu lanjutan dari PGAP yang empat tahun yang ditambah dua tahun, itu pada tahun 1961. Saya kemudian kembali ke Makassar untuk mencapai sarjana muda, di situlah saya ketemu pak Hasan.

Pak Hasan itu kategori luar biasa. Andai dia militer, ini dari prajurit sampai menjadi jenderal. Karirnya sangat bagus. Tapi memang dia tidak memiliki garis tangan untuk menjadi bupati, padahal saya termasuk orang yang betul-betul memperjuangkan beliau untuk itu. Saat itu pak Mengga, pak Malik Pattana Endeng, pak Madjid termasuk tokoh-tokoh dari Mamasa sudah tanda tangan semua untuk mengurus pak Hasan ke Jakarta. Saya datangi semua, tetapi kemudian muncul nama Hasyim Manggarabarani. Karena tokoh ini tentara semua, apalagi pak Mengga akhirnya mereka patuh, itu doktrin mereka. Padahal kami sudah bertemu dengan Gubernur ZB Palaguna memperjuangkan Hasan, saat itu kita memang tidak mampu melawan, antara sipil dan militer. Kendala utama saat itu sebab pak Hasan sipil, sementara di zaman orde baru bila ada militer, pastilah militer yang maju. ABRI tidak bisa kita lawan. Tidak ada peluangnya.

Itulah sebabnya saat pak Mengga kita perjuangankan menjadi bupati dapat langsung jadi. Kami sampai ke Jakarta itu, ada juga pak Waris Hasan dan Burhanuddin Madjid yang ikut mengurus bersama saya. Kenapa saya selalu memperjuangkan hal seperti ini, karena saya selalu total mencintai Tanah Mandar ini. Saya selalu tulus memperjuangkan, karena kalau saya mau kaya, sudah kaya saya tapi kan tidak. Bayangkan saya 20 tahun bersama bupati Abdullah Madjid, dan pak Mengga. Modal utama karena saya pimpinan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia) yang menjadi salah satu elemen mengganyang orde lama. Itu sama dengan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), di Polewali saya memimpin KAPPI.

Saya dengan Hasan Sulur juga memiliki hubungan keluarga. Kami terus menanamkan dalam diri kami untuk tidak pernah membenci orang lain, kalau pun orang melihatnya bahwa kita terus melakukan proses sosial-politik, tetapi tidak pernah membenci. Sebab yang ingin kami lihat bagaimana daerah ini maju. Itulah mengapa kaderisasi itu sangat penting baik di birokrasi maupun di ranah politik. Proses yang sepertinya tidak lagi sama saat ini. Walau di Mandar modal paling utama itu sifat kekeluargaan.

Pak Hasan itu memahami saya cukup dalam, karena sama-sama sejak awal. Hingga ia mendengar apapun yang saya katakan. Sehingga pak Nadjamuddin mengatakan, kalau ingin ketemu pak Hasan, beritahu pak Alimuddin. Beliau mendengar mungkin karena saya tidak dianggap tidak memiliki ambisi pribadi yang menonjol. Sama halnya pada pak Mengga, kalau saya tahu ada orang yang dianggap berseberangan, maka saya akan menemuinya untuk mengatakan bahwa pak Mengga memerlukannya. Jadi di situ selalu ada upaya untuk merekonsiliasi orang per orang atau tokoh. Memperbaiki hubungan satu sama lain.

Bersama pak Hasan kegiatan yang tidak pernah itu adalah diskusi atau berdialog. Bahkan sejak zaman mahasiswa itu kalau ada masalah di daerah kami memang selalu hadir, dan mendatangi pemerintah. Termasuk bila kami tahu ada pejabat atau bupati sedang di Makassar, maka kami akan mengunjunginya.

Sebenarnya pak Hasan sudah kita perjuangan untuk menjadi Sekda sejak zaman pak Mengga, untuk menyiapkannya sebagai kader selanjutnya. Di sela itu kami berusaha agar pak Syahrul Saharuddin yang sangat disukai Gubernur Achmad Amiruddin yang bakal menggantikan puang Mengga bila sudah selesai periodenya. Karena seharusnya dari Mengga-lah ke Syahrul yang juga kader sangat pintar itu. Kami berempat bersama pak Burhanuddin Madjid, pak Waris Hasan, juga Hasan Sulur ke Makassar, menghadap gubernur dan Kowilham yang saat itu juga sangat menentukan. Bila Syahrul masuk sebagai bupati saat itu kemungkinan kaderisasi yang sangat kuat ini tidak akan terputus seperti saat ini, dan akan menjadi bupati termuda. Kami juga telah kompak dengan mahasiswa dan kalangan lainnya saat itu.

Tapi nanti di era Bupati Kube Dauda barulah Hasan masuk sebagai Sekda. Kube Dauda sebelumnya pernah sebagai bupati di Bulukumba. Setelah itu baru Saad Pasilong yang hanya setahun karena meninggal dunia saat menjabat. Saat kita belum dapat membangun interaksi.

Jadi sebenarnya sudah ada skenario yang dijalankan. Bahkan sejak lama saya pun diminta untuk masuk ke pemerintahan tetapi saya tidak mau, karena masiria (Bahasa Mandar yang artinya Saya malu). Karena sudah berkecimpung di bidang keagamaan. Jadi saya memang konsennya selalu politik, tetapi bukan politik yang sifatnya ambisius melainkan politik kerakyatan. Makanya saya selalu bersama pak Hasan, karena pemikirannya sangat produktif. Sebenarnya kita berharap pak Hasan Sulur dapat menjadi bupati setelah puang Mengga. Tetapi peluangnya masih sulit karena persinggungan sipil militer. Tetapi setelah itu kami makin sering bersama. Itulah sebabnya dia juga makin hidup karena memiliki teman yang sama pemikirannya, kami kompak dan bersemangat. Kita ketemunya karena Hasan itu birokrat senior yang pintar. Yang bagus itu karena ia mendengar dan menerima pendapat. Ia kemudian mampu memadukan dirinya sebagai seorang birokrat-politisi.

Orang bertanya, mengapa misalnya puang Mengga atau pak Hasan Sulur selalu mendengar apa yang saya sampaikan? Karena keduanya tahu saya sangat mencintai mereka.

Kisah ini ditarik dari buku Surat Cinta yang Tidak Terbaca terbitan Gerbang Visual, terbit tahun 2021.

Selamat jalan Bapak Drs. H. Alimuddin Lidda, engkau hanya mendahului kami, semoga apa yang sudah engkau torehkan untuk Polewali Mandar dan Sulawesi Barat insya Allah akan menjadi amal jariyah dan semoga Allah SWT menerima segala kebaikan dan memaafkan segala kehilafannya, serta seluruh keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dan kekuatan oleh ALlah SWT. Amiin.

Redaksi,

Wahyudi