Penulis : Hasriani Hanafi
Kabar Buruk Setelah Lindu
Lambat laun hujan berhenti. Mentari mulai menyunggingkan sinar yang masih tertutup awan tebal. Kondisi alam, tak bersahabat. Belum terlihat kecerahan, seakan masih berada di balik rundungan duka. Pandangan mencair dalam pintalan lindu semalam. Bagaimana kabar kampung yang kami tinggalkan?
Wajah muram terlihat dari salah satu teman pengungsian kami. Ia memang sengaja sholat di Masjid Nurul Hidayah Lombong Manaraya, untuk mengambil air demi memenuhi kebutuhan kami selanjutnya. Sejenak ia terdiam. Dan, meniti kabar buruk tentang kabar duka akibat gempa subuh itu.
“Mate Kepala Desa Mekkatta.” Kalimat itu sebagai pembuka kata darinya. Semua mata terbelalak. Aku, tak menduga jika sampai akan menelan korban. Kematian dan bencana, tak memandang kasta. Siapapun akan tertimpa, bukan lagi miskin-kaya, bodoh-pintar atau modis-jadul. Tak ada petak, takdir yang berbicara. Nyatanya jabatan akan tinggal kenangan.
Jangan lagi, kita mengejar dunia yang fana ini. Harta akan hilang bersama umur. Maka, kejarlah akhirat selagi kaki bisa berpijak, tangan mampu mengawat. Biarlah harta, mengantarkan tubuh hingga pada Surga Firdaus.
Terkadang mengukur bahagia dalam kemewahan. Mensyukuri kelebihan, dan menghujat segala sudut kekurangan. Mementingkan kesementaraan dan mengabaikan keabadian. Berlomba mencari harta, sedang ia akan lenyap bersama usia, kepandaian akan meredup bersama penurunan otak, serta kecantikan menuai dalam keriput. Mana lagi yang patut di banggakan dan disombongkan, melainkan mengembalikan pada kepunyaan-Nya.
Mungkin, tidak asing lagi bagi kita melihat kondisi yang saat ini. Banyak wanita sibuk mencari pakaian mahal, sedang anak dan suaminya terlunta untuk makan seadanya. Para wanita, mencari kerja sana-sini sedang rumah tangga hancur berantakan hingga, suami semakin direndahkan karena kepandaiannya. Atau bahkan sebaliknya, suami yang merendahkan istri, karena dianggap hanya bisa mengurusi rumah tangga, sedang mereka tak tahu urusan rumah tangga bukan hanya memerlukan kepandaian. Namun ketabahan dan kesabaran mengahadapi getir kehidupan.
Gemuruh memecah alam bawah sadarku. Bunyi yang sama terdengar sebelum lindu melunyah. Jeda antara suara dan guncangan hanya berselang 2 detik. Kondisi itu berulang, namun getarannya lebih kecil. Gempa susulan terasa hingga 4 kali dan dibarengi dengan suara yang sama. Kami juga tidak tahu pasti, dari mana asal dentuman itu?
Setelah jam 09.00 pagi, kami beranjak dari tempat pengungsian pertama. Kami, ingin bergabung dengan sanak saudara. Agar keresahan, tidak terus menjadi beban karena jarak membentang, akhirnya kabar membayang.
Terlihat lebih redup dari pengungsian sebelumnya. Suasana mereka jauh berduka. Mata memerah dan samar membengkak. Tak banyak gerakan yang berarti. Tampak hening dan sangat pilu. Aku hanya bisa memandang dan mungkin ini efek gempa. Begitulah aku meraba, mencari jawaban yang fana.
Di sudut teras rumah yang bercat warna hijau daun. Di sanalah jawaban itu. Sosok wanita yang baru saja menjanda 2 jam yang lalu. Suaminya menjadi korban gempa. Sebelumnya, ia berpikir bahwa suasana sudah kondusif karena tak ada gempa atau tanda lain yang mencurigakan hingga larut malam menjelang.
Nahas, saat tertidur pulas, gempa mengguncang, lalu ia tertimpa lemari dan juga tertindih runtuhan tembok di kamarnya hingga harus meregang nyawa. Dan, menghembus nafas terkahir di pengungsian, tepat di belakang tenda keluarga kami.
Kabar kehilangan kembali terdengar. Benar ataukah tidak. Namun, ku terawang kembali suara “arraq” yang ku dengar sebelum terjangan gempa susulan datang. Kabar buruk benar-benar datang menghampiri.
Deking, 3 Maret 2021
====
Hasriani, lahir di Lampa 26 Juni 1989. Anak ketiga dari Hanafi dan Marwah. Wanita yang berprofesi guru dalam status honorer di SMA 1 Malunda berasal dari Mapillie Desa Bonra kec. Mapilli Kabupaten Polman. Namun, sudah lama merantau ke Tapalang -Malunda.
Tahun 2009-2011 tinggal dikediaman Ramli Habidul dan Hj. Mudiah sebagai orang tua asuh di Pasa’bu Tapalang Barat. Dan, Tahun 2012 hijrah ke Malunda dengan alasan menyelesaikan studi S1 di kampus 2 Universitas Al-Asyariah Mandar. Kemudian, memilih menetap di Malunda setelah menemukan tambatan hatinya Busriadi, yang kini dikaruniai seorang anak bernama lengkap Maryam Busriadi.
Selain bekerja sebagai honorer, seorang penyintas gempa di Malunda yang berkekuatan 6,2 Magnitudo ini juga menjadi salah satu pendiri Sanggar Ta Sende di Malunda yang bergerak dalam bidang seni tari. Dan, saat ini tengah menekuni dunia sastra.