Reporter : Nurliah Nuhun
WABAH COVID-19 selalu menghadirkan cerita di masyarakat. Ada banyak aspek yang dipengaruhi oleh wabah ini, termasuk keadaan pendidikan. Sejak menyebarnya COVID-19 di Indonesia, hampir seluruh instansi baik negeri ataupun swasta dirumahkan dengan istilah WFH (work from home) atau bekerja dari rumah.
Tidak terkecuali sekolah, dinas pendidikan mengeluarkan aturan bahwa proses pembelajaran tidak diperbolehkan berlangsung di sekolah, para guru dan murid melakukan proses belajar mengajar dari rumah. Ada dua cara belajar yang diberlakukan, yaitu daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan). Daring dilakukan dengan mengandalkan teknologi semacam smartphone, HP atau laptop. Sedangkan luring dilakukan dengan cara guru mengunjungi rumah peserta didik untuk melakukan proses pembelajaran.
Dari kedua cara di atas, dianggap kurang efektif dibanding dengan proses pembelajaran seperti di sekolah. Tidak sedikit peserta didik yang mengeluh juga orang tua, bahkan akhir-akhir ini bersileweran di sosial media curhatan para ibu-ibu atau orang tua siswa dalam menghadapi belajar di rumah baik luring ataupun daring. Belum lagi keluhan para peserta didik yang masuk dalam kategori tidak mampu karena sekolah memberlakukan proses belajar daring.
Sarkia, berusia 14 tahun adalah satu di antara segelintir anak-anak yang merasa kesulitan dalam proses pembelajaran daring (dalam jaringan). Gadis belia yang biasa dipanggil Kia, tidak seberuntung teman sebaya atau teman sekolahnya, ia mengalami banyak kesulitan dalam melaksanakan proses belajar. Keterbatasan ekonomi keluarga membuatnya tidak memiliki smartphone sebagai penunjang utama melangsungkan pembelajaran. Kia yang merupakan salah satu peserta didik SMPN 2 Tinambung yang duduk di kelas VIII ini merasa sangat tidak nyaman dengan adanya wabah COVID-19.
Seperti ungkap Kia menyikapi proses pembelajaran secara daring, “Saya sangat tidak nyaman karena biasanya kita belajarnya di sekolah sekarang melalui messengger atau WA sedangkan saya tidak punya HP.”
Kia mengaku sangat ingin memiliki HP, tapi juga sadar bahwa ia tidak boleh memaksa orang tuanya. Seperti yang terdengar dari pengakuannya saat ditanya mengapa tidak minta dibelikan HP
“Mama saya tidak punya uang, apalagi kita tinggalnya berdua jadi kalay mau beli HP butuh uang yang banyak.”
Orangtua Kia, Ati Mina (52 tahun), meskipun ia tidak berkecukupan untuk memfasilitasi anaknya dengan HP atau smarthphone, tidak serta merta abai dengan pendidikan anaknya. Ati Mina, adalah perempuan tangguh dan bertanggung jawab yang membesarkan anaknya dengan kedua tangannya turut membantu bahkan tetap mendukung pendidikan anak semata wayangnya. Sejak masih bayi, Kia dan Ati Mina tinggal berdua dengan ketidakcukupan yang menempa Kia tumbuh tanpa banyak mengeluh. Meski pelik hidup berusaha mengoyak semangatnya.
“Saya berusaha membantu anak saya untuk mencari teman belajar, karena sempat Kia punya Hp. Hp bekas yang diberikan oleh pamannya, hanya saja HP-nya sudah rusak karena hp itu juga bekas dan sudah setengah rusak memang. Saya berusaha mencari teman untuk Kia meskipun tidak terlalu nyaman juga, karena kadang ada teman yang tidak serius,” ungkap Ati Mina.
Kia yang tergolong sebagai siswa yang memiliki pengetahuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang baik kini sangat kesulitan dalam mengakses pelajaran atau tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Sebab terkadang terlambat mendapatkan informasi tentang tugas terlebih untuk mengakses pelajaran via google.
Kia memiliki banyak mimpi, hal yang paling Kia impikan adalah dapat membahagiakan orang tuanya, Kia harus tetap bersekolah dan meraih cita-citanya. Kia yang sadar akan keadaan ekonomi keluarga juga turut membantu orang tuanya. Banyak harapan yang Kia tanam sejak kecil, berpisah dengan bapak sejak usia bayi membuat Kia sadar bahwa tugas utamanya adalah membahagiakan Ibu. Dengan usia yang terbilang dini, ia mampu berpikir sedewasa mungkin dan mengerjakan hal-hal yang mampu ia kerjakan. Selepas belajar atau saat memiliki waktu senggan, Kia menyempatkan diri suamauq atau menetteq (proses pembuatan/menenun kain sutera).
Meski orang tuanya tak pernah memaksanya kerja karena sadar dengan umur Kia yang masih dini, tapi atas kesadaran Kia, ia tetap membantu orangtuanya.
Mungkin, di luar sana ada banyak yang senasib dengan Kia, yang tak bisa merasakan duduk manis memantau pelajaran yang dikirim oleh guru ke grup-grup messangger atau WA lewat smarthphone tercanggih tanpa harus risau bersama orang tua akan belajar di mana lagi hari ini.
Kia berharap, COVID-19 akan segera berlalu, atau sekurang-kurangnya ada perhatian dari yang bertanggung jawab untuk ketidakmampuan Kia dan peserta didik lainnya. Kia ingin belajar dengan tenang tanpa intaian dengan momok menakutkan dari COVID-19.