Karya: Nabilah Haruna
Terdapat sebuah teluk yang indah menjadi simbolik penyatuan pitu ulunna salu, pitu ba’bana binanga. Bau khas ombak dan hembusan angin yang syahdu, mengantarkan anak-anak nelayan berjalan di sepanjang pesisir pantai. Sekolah mereka dekat sekali dengan deburan ombak.
Kadang-kadang harus banjir digenangi air asin yang dipercaya sebagai penangkal sihir, obat gatal dan kudis. Kalau sedang kebanjiran, mereka tetap rajin ke sekolah. Tidak memakai seragam, tapi kaos oblong dan celana belang-belang. Meski begitu, raihan prestasinya tidak kalah dengan sekolah-sekolah negeri yang dibangun di atas daratan, aman dan tentram dari banjir air laut.
Para nelayan ogah dibangunkan dinding-dinding pemecah ombak. Mereka justru senang sebab tidak terhalang dengan mata pencahariannya. Lebih dekat dengan alam. Anak-anak pun tidak pernah redup cahayanya. Mereka senang bermain dengan air. Terbiasa terluka lalu diciprati air asin. Perih memang, tapi mampu mengatasi iritisi. Mereka tidak percaya dengan obat-obatan kedokteran. Lebih memuja ramuan herbal, dedaunan dan reaksi alam. Bagi mereka, tidak ada obat terbaik dari kesembuhan yang diberikan pencipta-Nya lewat tumbuh-tumbuhan atau keajaiban alam di sekitarnya.
Rumah-rumah nelayan beratapkan daun rumbia, berdinding triplek jati, dengan model kekinian. Bentuknya lucu, dan ditata sedemikian rupa. Dulunya sih tidak begitu modelnya, namun semenjak Khalid lulus dari perguruan tinggi negeri dan langsung bekerja sebagai arsitek, hal yang pertama kali ia wujudkan adalah merenovasi semua rumah-rumah nelayan. Satu kampung tanpa terkecuali. Dengan biaya bantuan teman sejawatnya sesama arsitek yang borjuis, punya aset melimpah tidak tahu mau dibagi ke mana. Hitung-hitung sebagai amal jariyah mereka. Khalid terkenal santun dan jujur, piawai mengolah kata dan gampang berbaur dengan siapa saja.
Kampung nelayan yang dulunya kumuh, berantakan, bergunung sampah rumah tangga, kini berubah wajah. Tetap dengan ciri khasnya, tapi lebih tertata. Berhasil menjadi ikon kampung nelayan terbersih dan terkompak beberapa kali. Jika ditanya pada Khalid siapa inspirasinya membuat karya yang luar biasa itu? Khalid dengan bangga menjawab, “Dari Bapak. Bapak sangat hebat menggambar. Bapak pernah bercerita padaku bahwa beliau ingin sekali membuat kampung nelayan lebih rapih dan ditunjukan padaku gambar beliau dengan sketsa yang amat elok dipandang mata. Saya hanya menyempurnakannya saja dengan ilmu arsitek yang saya punya. Mulai dari berapa ukuran yang pas, tanah yang diperlukan, bahan bakunya. Untuk sketsa, ini murni punya Bapak.”
Bapak Khalid memang seorang nelayan, tetapi beliau dikenal sebagai pria yang bersahaja, sederhana, dan bijaksana. Selalu diusung jadi ketua RT, lurah bahkan camat, tapi beliau sadar diri. “Saya hanya sekolah sampai kelas 3 SD. Selebihnya saya sekolah di lautan bebas. Saya rasa sudah cukuplah saya sebagai nelayan dan rakyat saja.”
Walau begitu, nyaris dua anaknya tidak ada yang putus sekolah. Khalid sejak kecil diberikan khutbah dua puluh menit setiap malam. Membicarakan tentang kehidupan, kepercayaan dan pendidikan. Khalid sudah kenyang tiga ilmu itu.
Khalid harus merantau jauh dari kampung halamannya. Meninggalkan berjuta kenangan dan jejak manis masa kanak-kanaknya di pesisir pantai. Tamat sekolah dasar, bapaknya membawa Khalid berlayar di lautan bebas. Bertemankan ikan-ikan kecil, sedang dan besar. Lima hari lima malam berada di lautan, terombang ambing bersama sampan dan layar. Berdua saja, bapak dan Khalid. Ia sengaja diantar untuk mengais ilmu lebih dalam. Pemerintah waktu itu pilah pilih memberikan bantuan. Hanya di pulau besar saja. Terpencil tidak diurusi bahkan diabaikan. Khalid disekolahkan bapaknya bermodalkan uang dua ratus rupiah. Bapak Khalid punya kenalan di Bandung, ia menitip anaknya di sana.
“Nak, kamu tidak usah kembali ke tanah Mandar jika kamu belum punya gelar sarjana dan bisa memperbaiki kampung nelayan”, pesan bapak pada anak sulungnya yang ketampanannya sudah terlihat sejak baru dilahirkan. Ibunya sudah meninggal setelah melahirkan si Bungsu, pendarahan waktu itu. Usia Khalid masih dua tahun.
Khalid menjadikan Bapak sebagai Ibu. Bapaknya super setia. Padahal wajahnya masih tampan meski sudah bergulat di lautan, terpapar matahari. Banyak gadis yang mencoba mendekatinya, tapi sang Bapak selalu bilang, “Saya mencintai istri saya dan merasa dia tetap hidup di sini,” sambil menunjuk hatinya.
Khalid benar-benar tidak pernah pulang kampung dalam kurun waktu sepuluh tahun. Sesuai perintah sang Bapak yang begitu dihormati dan disayanginya. Selama diperantauan, ia tekun belajar, bekerja, dan tidak pernah lupa berdoa. Jika ia rindu pada Bapak dan mendiang Ibunya, ia hanya akan merapal doa dalam sujud panjangnya.
Berkali-kali sembab matanya karena menangis sendirian. Pada zaman itu, tidak ada kabar yang bisa ditukarkan kecuali berita dari nelayan yang membeli rempah di Mandar. Hidup Khalid ya begitu, dan pengalaman itulah yang buatnya tangguh. Gadis-gadis pun mengantri menjadi kekasihnya, tetapi Khalid selalu ingat kesetiaan Bapaknya.
Dia pun belajar untuk menanti seorang gadis yang harus ia perjuangkan tidak perlu si gadis yang mengantri. Supaya dia menjadi seperti Bapak yang setia pada seorang perempuan saja.
Singkat cerita, Khalid sudah sarjana dan akhirnya bisa pulang kampung. Namun, kedatangannya justru tidak disambut oleh pelukan Bapak, tapi tangis adiknya yang pecah.
“Bapak sudah tiada dua tahun yang lalu. Ada surat-surat yang ditulis Bapak untuk kakak. Mari kita ke kuburnya kak. Bapak rindu senandung ayat-ayat kakak”. **sekian**
Foto:lukisanlukisanku.blogspot.com
Nama : Nabilah Haruna, Kelahiran Tinambung, 30 Maret 1998. Saat ini berkuliah di Universitas Negeri Malang, Prodi S1 Bahasa dan Sastra Inggris. Tengah bergelut dengan skripsinya, tapi tetap meluangkan waktu untuk menulis cerita pendek, puisi atau kutipan motivasi, dan lain sebagainya. Bukunya yang sudah terbit ialah Surat Terakhir dan Rahasia Menulis Essay Bantu Kamu Lolos Beasiswa Unggulan, diterbitkan oleh Haryani Castle.
Nabs, begitu sapaannya, dapat ditemui di Instagramnya: @nabbslll atau akun youtubenya Nabilah Haruna.