Ketika Pacu Jalur Menyapa Sandeq Silumba

oleh
oleh

Oleh Muliadi Saleh | Penulis, Pemikir, dan Penggerak Literasi Budaya

PAGI itu laut Mandar menyibakkan dirinya seperti sajadah biru yang baru saja dihamparkan. Angin berembus lembut membawa aroma garam dan kisah leluhur yang tertanam dalam setiap gelombang. Di bibir pantai, puluhan Sandeq—perahu bercadik yang ramping dan terkenal paling cepat di Nusantara—berdiri anggun. Tiang layarnya memancang ke langit, dihias panji warna‑warni, seolah hendak memetik restu Tuhan dari angin dan ombak.

Inilah gambaran  Sandeq Silumba, festival bahari yang dulu dikenal sebagai Sandeq Race lalu berkembang menjadi Sandeq Festival, kini hadir dengan nama baru yang membawa semangat baru. Silumba berarti berlomba, saling mengadu kecepatan, tetapi juga mengadu ketulusan dalam merawat laut dan budaya.

Saya jadi  teringat pada festival lain yang jauh di seberang pulau: Pacu Jalur di Sungai Batang Kuantan, Riau. Di sana, perahu panjang yang disebut jalur melaju deras di air berwarna cokelat keemasan. Puluhan pendayungnya bergerak serempak, diiringi genderang dan sorak ribuan orang. Tahun 2025 ini, Pacu Jalur tercatat dalam agenda Karisma Event Nusantara, menjadi magnet wisata dengan peningkatan kunjungan hingga 30 persen dan perputaran ekonomi yang mencapai Rp 75 miliar. Angka‑angka itu bukan sekadar statistik, melainkan bukti bahwa sebuah lomba bahari mampu menghidupkan denyut ekonomi, menjaga warisan budaya, dan menumbuhkan kebanggaan.

Pelajaran Pacu Jalur itulah yang kini terasa mengalir bersama arus laut Mandar. Ketika Sandeq Silumba akan digelar, para tetua adat berkumpul di pesisir, mengirimkan doa-doa terbaik dalam suasana khidmat. Masyarakat menyambut penuh antusias, harapan dan bangga atas budaya mereka yang disakasikan langsung di depan mata banyak orang.

Suara doa itu larut dalam deru angin. Para pendayung menyiapkan dayungnya, wajah-wajah mereka tegang tapi penuh harap. Satu per satu layar mengembang, cahaya matahari memantul di permukaan laut, menciptakan jalur emas yang memandu mereka ke cakrawala. Ketika aba‑aba dilepas, perahu-perahu itu melesat, dayung mencabik air, percikan memantul seperti bintang kecil di siang hari. Sorak penonton menggetarkan udara. Saya melihat betapa nilai gotong royong menjelma nyata: satu orang saja terlambat mengayuh, maka laju perahu terhenti; satu awak saja kehilangan semangat, maka seluruh layar kehilangan arah.

Di tepi pantai, kehidupan berdenyut. Tenda-tenda UMKM berdiri, menawarkan kopi dan pisang goreng Mandar membawa kenangan. Tak ketinggalan “ule-ule tarreang’, bubur khas Sulbar yang tiada tara, kain tenun sutra – ‘lipat sambel – bermotif laut bisa eksis dan mempertontonkan keindahannya, hingga perahu-perahu mini sebagai cendera mata. Ekonomi pun bergerak. Sandeq Silumba tak sekadar tontonan; ia adalah wadah kreatif yang menghidupkan masyarakat pesisir, mengajarkan bahwa laut bukan hanya sumber ikan, tetapi sumber inspirasi dan rezeki.

Seorang penjual ‘sokkol’ Mandar bercerita lirih, “Dulu pantai ini hanya tempat singgah perahu nelayan. Setelah ada Sandeq Race, lalu Sandeq Festival, dan kini Sandeq Silumba, orang-orang datang dari jauh. Hasil jualan cukup untuk menyekolahkan anak dan cucu.” Wajahnya memantulkan kebahagiaan sederhana, dan saya tertegun, menyadari betapa sebuah festival bisa menjadi jembatan masa depan.

Pelajaran dari Pacu Jalur menyatu indah di sini. Di Riau, sebelum pohon ditebang untuk perahu, hutan dimintai izin dengan ritual adat. Di Mandar, sebelum Sandeq dilepas, laut dimohonkan restu. Alam bukanlah objek yang dieksploitasi, melainkan sahabat yang dijaga. Wisata bahari sejati lahir dari kesadaran bahwa laut adalah anugerah, bukan arena perlombaan semata.

Sore datang dengan langit berwarna tembaga. Perahu-perahu kembali ke dermaga, pemenang dielu-elukan, yang kalah tetap dipeluk dalam kebersamaan. Anak-anak berlarian memunguti sampah plastik di pantai, tanda cinta generasi baru pada lautnya. Dari kejauhan terdengar lantunan doa syukur dan lagu ‘sayang-sayang’: tentang layar yang menembus badai, tentang laut yang memberi dan meminta dijaga.

Saya menutup catatan dengan hati penuh getar. Semoga Sandeq Silumba bukan hanya kebanggaan Mandar, tetapi juga simbol pelajaran yang mengajarkan nilai kebersamaan, penghormatan pada alam, dan keberanian menghidupkan ekonomi lokal.

Dan di bawah langit pesisir yang mulai gelap, aku berbisik pada ombak: semoga setiap perahu yang melaju adalah doa yang mengalir, setiap layar yang mengembang adalah harapan yang membesar, dan setiap festival bahari yang lahir adalah tanda syukur manusia pada Tuhan dan alam. Sebab wisata bahari sejati, pada akhirnya, adalah zikir panjang yang ditulis oleh ombak dan dibacakan oleh angin. Di sanalah kita menemukan identitas, kebersamaan, dan janji masa depan.