Oleh: Hirlan Khaeri, S.ST., M.Stat.
(BPS Sulawesi Barat)
MEDIA lokal di Sulawesi Barat, dalam tiga bulan terakhir dihiasi dengan pemberitaan prestasi pemerintah menurunkan angka kemiskinan ekstrem. Tidak
tanggung, dalam jangka satu tahun angka miskin ekstrem menurun sekitar 2,19 persen dibandingkan periode sebelumnya.
Perubahan signifikan tersebut menempatkan Sulbar tercepat di kancah nasional. Tentu capaian ini jadi sebuah kabar gembira tidak hanya bagi pemerintah, pun masyarakat Sulbar pada umumnya.
Mengulas dinamika kemiskinan ekstrem, di mana pun tidak hanya di Sulbar, butuh daya telaah yang teliti sekaligus mendalam. Kita harus sadar bahwa pola perubahan sosial tidak pernah kaku seperti hubungan matematis yang mudah diprediksi.
Tidak sebatas itu, untuk menerka jumlah mereka yang miskin ekstrem, formulasinya saat ini belum robust. Metodologi yang digunakan masih membuka peluang fluktuasi pada angka dugaan yang dihasilkan.
Dinamika ini tidak selalu indikasi unreliability tapi semata sifat statistik memang perlu didukung informasi rentang kepercayaan. Saat angka-angka mudah berubah, kita perlu meneliti pola general tren untuk tahu kecenderungan arah perubahan, bukan pada nilai absolut.
Inti pembicaraan tentang kemiskinan harusnya berpusar pada Aim bukan terjebak pada mean. Dengan begitu kita bisa benar-benar berharap dapat menuntaskan permasalah sosial tersebut sesuai tujuan yang diharapkan.
Keadilan sosial, yang hadir dalam wajah kesejahteraan, harus dirasakan oleh seluruh rakyat. Amanat ini jelas dipatri dalam dasar pembetukan negara kita. Untuk mewujudkannya pemerintah harus mampu menempatkan warganya dalam posisi player view, bukan sekedar spectator view. Sehingga setiap orang dapat memahami bahwa mengetaskan kemiskinan tak hanya soal menurunkan angkanya tapi harus disertai dengan mengangkat martabatnya sebagai
warga negara yang maju.
Untuk melaju, program pemerintah tidak melulu harus menelan anggaran raksasa. Yang terpenting ia harus berkelanjutan. Kolaborasi yang sudah dilakukan antara Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan para bupati di enam kabupaten di Sulbar boleh dikata ada hasilnya, karena terbukti berdampak secara kuantitatif.
Data BPS soal kemiskinan ekstrem yang turun hingga 0,75 persen pada tahun 2023 menjadi bukti empiris yang tidak perlu banyak dipersoalkan. Angka ini secara konsisten didukung dengan menurunnya jumlah, tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan. Artinya, secara hitung-hitungan ada bukti bahwa tren kemiskinan memang mengalami tendensi penurunan. Akan tetapi, kita juga perlu tetap skeptis agar lepas dari jebakan stagnasi.
Kita perlu bertanya sejauh mana angka yang digunakan tetap dapat memenuhi standar validitas dan reliabilitas yang tinggi. Tidak seperti matematika, statistik tidak sekedar angka.
Dalam penelaahan data penurunan kemiskinan, kita senantiasa perlu mengingatkan diri, statistik hanyalah cermin dari realitas, validitasnya sangat tergantung pada metode pengumpulan dan interpretasi data. Pemahaman yang cermat tentang konteks sosial, ekonomi, dan politik Sulbar harus tetap menjadi pegangan utama untuk memahami gambaran utuh dari perubahan ini.