Kecoa Bisa Mengajarkan Kita Cara Makan yang Benar

Manusia, seperti kecoa dan banyak spesies hewan lainnya, memiliki selera yang spesifik untuk asupan gizi tertentu. Erik Karits Credits Pixabay
Manusia, seperti kecoa dan banyak spesies hewan lainnya, memiliki selera yang spesifik untuk asupan gizi tertentu. Erik Karits Credits Pixabay

Oleh David Raubenheimer, The University of Sydney in Sydney

Alam membantu kita lebih memahami mengapa kita makan berlebihan dan bagaimana menyeimbangkan kembali sistem pangan kita dalam mengatasinya. Kita mungkin memiliki lebih banyak kesamaan dengan kecoa daripada yang kita sadari.

Dalam sebuah eksperimen, para peneliti pertama-tama memanipulasi pola makan kecoa dimana mereka diberi pilihan makan makanan tinggi protein, tinggi karbohidrat, atau makanan yang hampir seimbang — menempatkan serangga ini keadaan ketidakseimbangan gizi.

Kemudian mereka diberi lagi pilihan  untuk tiga jenis makanan, dimana mereka bisa menggabungkan pola makan sesuai keinginan mereka.

Cukup menakjubkan, ketiga kelompok kecoa tersebut memilih kombinasi makanan yang tepat dari ketiga jenis pilihan makanan untuk menyeimbangkan kembali diet mereka, Kecoa-kecoa ini kemudian  melanjutkan pola makannya sesuai dengan rasio tersebut.

Apa yang dibuktikan kepada kita adalah kecoa — dan sekitar 40 spesies hewan lainnya yang telah diteliti oleh para peneliti — tidak hanya memiliki satu selera makan, mereka memiliki nafsu makan yang membuat mereka lapar akan nutrisi tertentu.

Hal ini tergantung pada apa yang mereka butuhkan pada waktu-waktu tertentu.Dan yang menarik, manusia juga memiliki nafsu makan yang spesifik terhadap nutrisi.

Pengetahuan yang diperoleh dari alam ini membantu kita lebih memahami mengapa kita makan berlebihan dan bagaimana ketidakseimbangan dalam sistem pangan modern kita berkontribusi pada masalah ini.

‘Sistem pangan‘ merupakan seperangkat faktor yang sangat kompleks dan saling berinteraksi. Ia mengelilingi setiap makanan dan hidangan yang kita konsumsi.

Secara umum, sistem pangan dapat dibagi menjadi faktor-faktor yang memengaruhi apa yang kita makan — seperti ketersediaan, rasa, dan keterjangkauan berbagai makanan — serta faktor-faktor yang dipengaruhi oleh apa yang kita makan — seperti konsekuensi ekonomi dan lingkungan dari pilihan pola makan kita.

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi di dunia adalah faktor-faktor yang mempengaruhi apa yang kita makan diatur sedemikian rupa sehingga beberapa hasil bisa optimal dengan mengorbankan yang lain.

Produksi dan pemasaran makanan, serta kebijakan yang mengaturnya, dioptimalkan untuk keuntungan ekonomi, seringkali dengan mengorbankan lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Menyeimbangkan Sistem Pangan

Kita perlu menemukan cara untuk menyeimbangkan kembali sistem pangan ini.

Untuk melakukan itu, para peneliti beralih pada apa yang bisa kita pelajari dari bagaimana spesies lain merambah kompleksitas sistem makanan alami — ekosistem — dan bagaimana temuan ini diterapkan pada spesies kita sendiri.

Sebagai contoh, dalam penelitian mereka tentang kerabat hidup terdekat kita di alam liar — spesies primata lainnya — mereka menemukan bahwa akibat fluktuasi ekologi alami (seperti perubahan musim) primata secara teratur terjebak dalam lingkungan makanan yang tidak seimbang yang menghalangi mereka untuk mengkonsumsi diet yang seimbang.

Dalam keadaan seperti itu, sebagian besar primata lebih mengutamakan asupan protein mereka dibandingkan dengan dua makronutrien lainnya yang kita butuhkan — lemak dan karbohidrat.

Dengan kata lain, selera makan mereka mengatur asupan protein mereka lebih kuat dibandingkan lemak dan karbohidrat, dan sebagai hasilnya, pada diet rendah protein mereka akan mengonsumsi lemak dan karbohidrat secara berlebihan, sedangkan pada diet tinggi protein mereka akan mengonsumsi lemak dan karbohidrat dalam jumlah yang sedikit.

Manusia juga menunjukkan prioritas untuk asupan protein, jadi kita tidak berbeda dengan spesies primata lainnya dalam hal itu.

Ini merupakan hal yang penting karena bisa membantu kita memahami dengan cara yang sangat berbeda mengapa kita cenderung makan berlebihan dalam sistem makanan modern kita.

Kita tidak mengonsumsi lemak dan karbohidrat secara berlebihan karena kita memiliki selera yang sangat kuat untuk nutrisi tersebut, tetapi karena kita memiliki selera yang lebih kuat untuk makan protein!

Saat kita mengurangi persentase protein dalam diet kita, untuk menjaga asupan protein kita tetap di sekitar tingkat normal, jumlah lemak dan karbohidrat yang kita konsumsi meningkat secara eksponensial.

Bukan karena ada yang salah dalam  tubuh kita yang membutuhkan pendekatan farmasi atau lainnya untuk mengatasinya — tubuh kita utuh, sama seperti kerabat primata liar kita.

Masalah Konsumsi Berlebihan

Apa yang telah berubah dan mendorong keadaan gizi yang kita hadapi saat ini adalah lingkungan dimana kita berada.

Protein diencerkan dalam sistem pangan kita mengarah pada epidemi konsumsi berlebihan yang mengganggu planet ini dan kesehatan spesies kita.

Menurut Pedoman Diet Australia, kita seharusnya mendapatkan antara 15 hingga 25 persen dari asupan energi kita dari protein, antara 45 hingga 65 persen dari karbohidrat, dan antara 20 hingga 35 persen dari lemak.

Ini memungkinkan kita untuk dapat dengan cepat mengidentifikasi apakah komposisi pola makan kita, atau hidangan tertentu seimbang secara nutrisi dan sesuai dengan rekomendasi ini.

Kita juga mengidentifikasi kategori makanan mana yang bertanggung jawab atas pengenceran protein dalam sistem pangan kita.

Penelitian menunjukan bahwa makanan ultra-proses yang menjadi penyebab pengenceran konsentrasi protein dalam diet kita di sistem pangan Australia dan global.

Makanan ultra-proses merupakan makanan yang berasal bukan dari hutan atau ladang, tetapi dari pabrik. Mereka berakar pada produksi industri, bukan pada pertanian atau pengambilan dari alam liar.

Mereka dirancang oleh perekayasa makanan bukan untuk memberi nutrisi pada tubuh manusia atau melindungi lingkungan, tetapi untuk memberi nutrisi dan melindungi keuntungan finansial bagi pemegang saham.

Sayangnya, dari perspektif keterjangkauan, penelitian menunjukkan bahwa kelompok berpenghasilan rendah di Australia terkait dengan pola makan rendah protein dan akibatnya asupan energi berlebih yang spontan.

Mereka juga lebih cenderung tertarik pada makanan ultra olahan ini. Alasannya adalah bahwa ketika Anda membandingkan biaya relatif dari berbagai makronutrien dalam makanan yang kita konsumsi, protein adalah yang paling mahal.

Menghindari obesitas kemudian menjadi tantangan sosial-ekonomi, dimana orang-orang dengan pendapatan rendah terpaksa menjauh dari asupan protein yang dianjurkan dan beralih ke kebiasaan makan berlebih pada lemak dan karbohidrat.

Makanan Olahan Terkait dengan Emisi yang Lebih Tinggi

Memahami bahwa kita memprioritaskan protein juga penting ketika mempertimbangkan dampak lingkungan dari pola makan yang kita konsumsi.

Makanan tinggi protein dikaitkan dengan emisi gas rumah kaca yang tinggi, jadi Anda mungkin beranggapan bahwa kita harus mengurangi asupan protein dalam pola makan kita untuk juga mengurangi emisi gas rumah kaca kita.

Namun, ini mengasumsikan bahwa asupan energi kita tetap konstan saat proporsi protein dalam pola makan kita menurun, yang kita tahu tidaklah benar.

Saat asupan protein kita  konstan, saat itulah kita mengurangi proporsi protein dalam  pola makan kita, asupan energi kita jadi meningkat.

Jika kita menganalisis kembali data dalam konteks tersebut, kita menemukan bahwa mengurangi protein dalam pola makan akan mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi hanya jika makanan tinggi protein diganti dengan makanan nabati yang nyata, seperti sayuran, biji-bijian, buah-buahan, dan kacang-kacangan.

Jika makanan tinggi protein digantikan oleh makanan ultra-proses, kerusakan lingkungan tidak berkurang, bahkan bisa menjadi lebih buruk.

Salah satu alasannya adalah besaran energi yang digunakan dalam produksi industri makanan ultra olahan. Alasan lainnya adalah kandungan protein yang rendah menyebabkan konsumsi berlebihan — dan produksi setiap kalori tambahan yang dikonsumsi menghasilkan gas rumah kaca.

Makanan asli yang rendah protein, seperti sayuran dan biji-bijian, tidak dimakan berlebihan dengan cara yang sama, karena mereka mengandung serat yang mengenyangkan.

Jadi, makanan ultra-proses rendah protein, tinggi energi, dan merusak lingkungan.

Dan ada masalah lain — kepadatan nutrisi makanan kita berada di titik terendah, sementara pola makan yang kaya akan makanan utuh yang sangat tinggi zat-zat yang pendukung kesehatan justru yang paling banyak dikonsumsi .

Mengapa kita kemudian mentolerir pola makan yang tidak sehat dan tidak berkelanjutan?

Tidak ada yang benar-benar ingin planet ini diracuni. Tidak ada yang ingin tubuh kita diracuni. Namun kedua hasil tersebut sangat persisten dalam sistem pangan kita.

Ini karena mereka terbenam dalam sistem ekonomi yang mengatur semua ini, sehingga ada manfaat pasar bagi ekonomi dengan tingginya konsumsi makanan ultra-proses.

Manfaat pasar tentu saja baik untuk negara — tetapi bagaimana dengan mengorbankan kesehatan publik dan planet?

Tantangan utama adalah mengelola faktor-faktor dalam sistem pangan kita sedemikian rupa sehingga manfaat ekonomi, kesehatan, dan lingkungan dapat lebih seimbang.

Alat kebijakan tersedia untuk ini, dan sudah diterapkan di beberapa negara. Ini termasuk pajak kesehatan (berdasarkan misalnya jumlah gula tambahan), label peringatan di depan kemasan, pembatasan pada pemasaran dan distribusi, serta kampanye media.

Tidak ada satupun dari alat kebijakan ini yang bisa menyelesaikan masalah tersebut sendirian. Mereka perlu dihubungkan dalam rangkaian strategi yang saling memperkuat, seperti yang dilakukan di Chili dan Brasil.

Alat semacam itu bukanlah hal yang asing. Mereka telah digunakan dengan baik untuk mengurangi konsumsi tembakau, dan sampai batas tertentu, konsumsi alkohol.

Langkah-langkah serupa yang diterapkan pada makanan akan membantu mengurangi beban penyakit yang dapat dicegah dan menyelamatkan alam yang kita andalkan untuk memproduksi makanan.

Serangga dan kera membantu kita memahami dimana kita berbuat kesalahan serta dimana kita bisa berbuat lebih baik. (RKT)

Profesor David Raubenheimer adalah Pemegang Kursi Leonard P Ullmann dalam Ekologi Nutrisi di Pusat Charles Perkins di Universitas Sydney. Studi-studinya tentang serangga, ikan, burung, dan berbagai mamalia telah membantu mengembangkan pendekatan baru terhadap masalah nutrisi manusia, seperti penyebab diet dari obesitas. Dia telah menerbitkan lebih dari 300 makalah ilmiah, dan telah menjadi penulis bersama dua buku dengan kolaborator dekatnya, Profesor Stephen Simpson, yang terbaru adalah “Eat Like the Animals” yang diterbitkan pada tahun 2020.

Penelitian ini dilakukan dengan bantuan keuangan dari Dewan Penelitian Australia (ARC), Dewan Penelitian Kesehatan dan Medis Nasional Australia (NHMRC), dan Asosiasi Daging dan Peternakan Australia.

Profesor Raubenheimer memberikan pidato kunci di Simposium Nasional 2024 Akademi Sains Australia — Masa Depan Pangan: Memelihara Sebuah Bangsa.

Artikel ini sudah terbit dalam Bahasa Inggris pada tanggal 18 Juni 2024 di 360info.org.

Originally published under Creative Commons by 360info™.