Kebijakan Pembentukan Batalyon-batalyon Baru TNI

Foto: Screenshoot IndonesiaDefence.com

Oleh: Andi Rahmat (WKU KADIN INDONESIA Bidang Pertahanan)

PEMERINTAHAN Prabowo berniat membangun ratusan batalyon baru TNI. Yang akan segera direalisasikan berjumlah 100 batalyon teritorial. Dari berbagai keterangan yang disampaikan Kementerian Pertahanan, 100 batalyon teritorial ini ditujukan untuk membantu upaya pemerintah dalam mewujudkan program Ketahanan Pangan.

Banyak pihak mengkritisi upaya pemerintah ini. Ada dua alasan utama yang mengemuka. Alasan pertama, berkaitan dengan fungsi utama TNI sebagai elemen perang. Alasan kedua, kekhawatiran menguatnya kembali militerisme dalam tata bernegara di Indonesia.

Kritisisme ini tentu saja memiliki basis argumentasi yang kuat. Sebagai elemen perang, TNI sudah seharusnya berfokus pada upaya memperkuat profesionalisme militernya. Dan bukan malah menyibukkan diri dengan aktivitas yang bukan merupakan fungsi utamanya.

Demikian juga dengan kekhawatiran mengenai penguatan militerisme dalam kehidupan bernegara. Pengalaman traumatis dari era Orde Baru yang militeristik masih segar dalam ingatan banyak orang. Militer, seperti yang pernah disebutkan oleh Samuel Huntington, memiliki watak Praetorian.

Dalam pandangan ala Huntington ini, militer selalu menaruh kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan kalangan sipil. Militer menganggap kalangan sipil seringkali tidak mampu mengatur dan mengorganisir dirinya sendiri dan karena itu, hanyalah militerlah yang bisa mewujudkan “ketertiban” yang tidak mampu diwujudkan oleh kalangan sipil.

Namun soal rencana pemerintah untuk membangun 100 Batalyon baru ini bukan tidak memiliki landasan argumentasi yang kuat. Raison d’ etre pembentukan postur pertahanan dan ketahanan nasional kita juga menunjukkan besarnya kebutuhan nasional kita terhadap pembentukan batalyon-batalyon baru di tubuh TNI. Terlepas dari kebutuhan pemerintah sendiri dalam mempercepat upayanya membangun ketahanan pangan nasional.

Ide membentuk 100 batalyon itu sebetulnya tidak benar-benar baru. Di masa Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai Menteri Pertahanan, ide ini sudah muncul. Yang membedakan adalah Jenderal Ryamizard menghendaki batalyon-batalyon ini murni merupakan batalyon tempur dengan kualifikasi raider. Batalyon-batalyon yang disiapkan untuk suatu pertempuran berlarut.

Kita seringkali melupakan pelajaran sejarah. Bahwa sepanjang sejarah, peradaban-peradaban besar yang kuat dan makmur selalu ditopang oleh kekuatan militer yang kuat. Bisa dikatakan, tidak ada bangsa- bangsa besar yang kuat dan makmur tanpa militer yang kuat. Kenyataan ini sudah menjadi adagium tersendiri.

Imperium besar di masa lalu, seperti Yunani, Babylonia , Romawi, Persia, Kekhalifaan Islam, Kekaisaran China, Imperium Ottoman, imperium Mughal dan bahkan Majapahit, semuanya ditopang oleh kekuatan militer yang solid.

Demikian juga dengan Imperium Inggris, Spanyol, Rusia, Persia, Prancis, Prusia, Austro Hungaria. Dan di era sekarang, Amerika Serikat. Semuanya ditopang oleh kekuatan militer yang kuat. Itu semua menunjukkan bahwa kemakmuran ekonomi suatu bangsa memerlukan “pengawalan” yang kuat dari kemampuan militernya.

Lalu bagaimana menalar keinginan pemerintahan Prabowo yang hendak membangun 100 batalyon baru ini?