Oleh: Burhanuddin Hamal
(Penyuluh Agama Islam Fungsional KUA Kec. Tinambung Polewali Mandar)
JIKA kita menyebut surah AL-FATIHAH saat merespon berita duka terkait meninggalnya seseorang, sebaiknya kita benar-benar menyempatkan diri untuk sejenak khusyu’ membaca ayat-ayatnya hingga tuntas dalam “nawaitu” belasungkawa. Justru karena hal yang satu ini sifatnya pribadi maka penting untuk saling mengingatkan agar muatan kemuslimannya tak sebatas basa-basi.
Seperti halnya kehidupan, kematian pun tak lain adalah sebuah “pergiliran”. Di waktu yang sudah ditetapkan, setiap yang hidup pasti akan bergabung di kenyataan orang-orang yang telah berpulang ke rahmatullah. Saat dimana sebegitu butuhnya sudah kita menunggu kiriman do’a-do’a terbaik dan fadhilah lainnya dari keberadaan mereka yang masih mengingat kita.
Relevan dengan ini, juga urgen untuk direnungkan ketika dengan gampangnya kita mengobral kata TERIMA KASIH didalam pergaulan sehari-hari. Tidakkah makna “kasih” yang filosofi agamisnya sudah kita peruntukkan pada banyak orang (entah kepada siapa dan dalam hal apapun), penjabaran sosialnya setelah itu seringkali justru “dipertanyakan”…?
Bahkan, kalau bukan karena penghayatan nilai dan jaminan konsistensi diri maka ucapan INSYA ALLAH pun berpotensi menjadi “tameng ketidak-sungguhan” disaat kita memberi janji.
Ushini waiyyakum bitaqwallah, Wallahu a’lam bisshawab.