Kebenaran Bunyi dalam Serruq Kopi

Dari 1960 an coffee Shop bertahan menjadi hiburan di Cafe-cafe hingga hari ini, inipun masih banyak lagi yang harus dilakukan dengan segala cara, termasuk dalam kategori produk dan terlebih oleh pengunjungnya, hal-hal itu mungkin saja dianggap sebagai budaya terkini, namun realisnya tidak begitu.

Dalam era penggabungan saat ini, meminum kopi dari cangkir, mengingat masa lalu, merancang masa depan, menemukan dan menjamah gagasan, dengan tiga fase itu. Bayang-bayang silam ketika 1696 Belanda berlabel VOC tiba di Jawa membawa biji kopi Arabika dari Malabar, India. Memaksa manusia jajahannya menanam di Batavia, tapi gagal. Belanda pun membuka lahan dan mendatangkan bibit baru pula di Sumatera, Sulawesi, Jawa, Bali, dan pulau-pulau lain termasuk Flores dan Papua.

Arabika tahun 1700 an berhasil membuat Belanda atau VOC memonopoli pasar kopi dunia dan mencapai puncak sebagai pengekspor terbesar di beberapa wilayah Eropa, melebihi Mocha, Yaman, yang sesungguhnya Belanda datang dan dikenal di dunia dari Indonesia seperti saat ini. Bukan cuma itu, Indonesia dulu menjadi pusat produksi kopi di pulau Jawa atau disebut sebagai Cup of Java atau secangkir Jawa.

Nasib Arabika berkata lain, seluruh peladang kopi Hindia Belanda muram oleh serangan hama karat tahun 1876, akibatnya otak Belanda terkuras dengan mencoba mengganti bibit biji kopi Liberika, namun tetap tidak membuahkan hasil. Belanda dengan upaya panjangnya beralih pada Robusta tahun 1900 meski kualitas lebih rendah.

Robusta dari asal kata kuat dan tahan lama pada hama karat daun, menjadikan Belanda yang begitu panjang lebar merasakan kenikmatan Hindia yang molek, meneruskan prestasinya dibidang ekspor kopi diseluruh dunia. Karenanya kopi Robusta yang lebih mudah perawatannya itu, berkembang di Indonesia meski laju perkembangannya menuai kebuntuhan. Pelajaran ini adalah momen penting bagi petani, terus berupaya hingga tanaman lebih meyakinkan, upaya itu juga tak lepas dari karya novel Douwes Dekker berjudul Max Havelaar, bercerita tentang seorang pedagang kopi, sekaligus menentang kebrutalan Belanda. Novel ini setidaknya dapat membentuk opini atau mainset rakyat Indonesia untuk menjadikan sejarah Hindia Belanda adalah bukti sugesti kebangkitan. Dan itu jauh sebelum Belanda meninggalkan untuk selama-lamanya. Robusta tinggal sebagai kopi yang seiring dengan kemajuannya menjadi khas di Indonesia.

Arabika (Coffea Arabica), Robusta (Coffea Chanepora Var. Robusta) dan Liberika (Coffea Liberica), tiga spesies biji kopi yang hidup dan matinya para penyeduh berharap dari sini.

Karena kopi di abad ke- 9, ditemukan dan dikomsumsi di daratan Afrika, bagian dari negara Ethiopia atau Abyssinia, kopi dianggap sebagai kekuatan oleh orang Arab, sebab dapat membantu dalam suasana kantuk. Kopi dibawa dan dinamai Qahwah atau kekuatan oleh pedagang Arab ke Yaman, hingga dibudidayakan pada abad ke-15 secara komersil, Eropa mengenalnya setelah juga dikomersilkan padanya di Abad -17 membuatnya tergiur juga pada budidaya. Sayangnnya kondisi wilayah Eropa tidak cocok, dari sini kemudian Eropa melancarkan misinya ke daerah jajahannya, lalu memperkenalkan sebagai jenis Arabika.

Di zaman ke khalifahan Utsmani, penyebaran kopi oleh bangsa Turki, kebudayaan dari segi bahasa merubah nama dari kata qahwa (Arab), menjadi Kahveh (Turki) dari sini kemudian Eropa menamakannya (koffie) lalu Indonesia berali ke kata Kopi. (Lanjut ke Halaman 3)