KATA, KOTA & KAMPUNG

Catatan Mini Kebudayaan: RAHMAT MUCHTAR

Kota dan kampung atau desa masing-masing memiliki pengaruh kuat bagi para pekarya sebagai sumber inspirasi yang kaya, unik serta istimewa dalam melahirkan karya seni, baik lewat sastra, seni rupa, teater, tari, musik dan lain-lain. Bagi yang pernah mengalami pengembaraan berkarya didua arus suasana kota & desa, akan merasakan pengaruhnya terhadap hal pemilihan diksi.

Magma kreatifitas yang terendapkan dalam masa waktu tertentu pada suatu wilayah, tentu memiliki berbagai ragam suasana yang menjadi pijakan, serta hubungannya dengan pemilihan kata yang tepat/diksi lahirnya cuaca karya. Bisa tergantung dimensi dialektika dan penghayatannya pada ruang latar kota-kampung karya itu terlahir serta bercorak. Benda-benda atau obyek yang disekitar kita, obyek pengalaman spiritual, memori dan pergaulan sosial akan sangat berpengaruh untuk melahirkan pemilihan suatu kata.

Contohnya : pematang, bukit, savana, laut, sawah dll dari corak berlatar suasana desa. Beton-beton, kanal, gedung dan lainnya yang barbasis urban kota. Betulkah?

Dalam arena sastra, saya teringat Mas Imam Budi Santosa saat diskusi sastra lingkaran kecil di Omah Panggung Nitiprayan , Jogja 2005 lalu. beliau mengkurasi puisi-puisi saya dan rekan lainnya dengan tajam bahwa, mestinya teman-teman lebih kuat menggali ikon-ikon dan diksi sesuai kerafian lokal masing-masing, misalnya Rahmat sangat bagus eksplorasi Sulawesi dan lautnya terutama Mandar sebagai khazanah bahari dan latar belakang yang membayangi proses sebelum hijrah ke Jogja.

Itu berarti bahwa saya belum menemukan kondisi puisi yang matang terhadap penyerapan ruang sewajarnya dari pandangan latar tolakan berkarya dimaksud mas Imam ?

Pendalaman proses selanjutnya, saya merasa tidak bisa terpaksa untuk terlibat total merayakan cuaca kampung halaman, desa, etnisitas kedalam nafas karya, meskipun selama ini tidak sepenuhnya meninggalkan aikonik diksi tersebut, baik dalam lukisan terutama dalam puisi.

Bisa jadi karena nurani dan ladang kejujuran terhadap suatu kesan dan problem di dalam diri berkarya sulit dibohongi dan terasa ada yang malu di kedalaman jiwa kita bila hanya sekedar seolah-olah. Tempaan waktu akan memboboti dan menggiringnya.

Dulu saya masih keras batu akan upaya pengerucutan warna identitas pada sebuah karya (terlebih pada pemilihan symbol, majas dan diksi pada ruang wilayah).

Meski beberapa kenyataan telah banyak mematri, seperti penyair D. Zawawi Imron sebagai salah satu penyair yang menetap didesa batang-batang, Madura. Majas dan ikonnya sangat kental bernuansa desa dan suasana di kampungnya. Seperti kata dan kalimat dalam puisinya : Nyiur, Madura Akulah Darahmu, Bantalku Ombak Selimutku Angin, Nyanyian Kampung Halaman.
Demikian pula pilihan diksi khas urban kota baik pada sosok Afrizal Malna yang lahirkan karya Abad yang Berlari, pistol perdamaian, arsitektur hujan, yang meski biografinya berdarah Minang namun lahir di Jakarta.

Kata teman-teman lainnya, gimana nuansanya kita membuat puisi dengan memilih kata “Salju” padahal kita sendiri tak pernah menikmatinya. Yaaah… itulah karya puisi dengan rasa, pandangan dan pembelaannya masing-masing.