Cerpen : Adi Arwan Alimin
Kamar mandi di ruang sebelah itu mulai mengganggu. Bila perempuan yang menyewa kamar kos di rumah besar ini sedang mandi. Guyuran airnya yang menyentuh lantai keramik kamar mandi umum itu seakan-akan sebuah ajakan untuk mendengar, bahkan mendekati pintu kamar mandi itu lebih rapat.
Bilik dua kali dua meter itu ibarat pentas teater dimana pelakonnya sedang berakting dalam sapuan lampu tunggal digelapnya malam. Begitu pikiran orang-orang yang sepikiran dengan kami. Pikiran kusut yang tetap terjaga dalam termin waktu sampai hari ini.
Dan, setiap kali ia memasuki kamar mandi itu, semua lelaki dan pria beristri langsung menghilang dari lorong kos-kosan. Semuanya kembali ke kamar, lalu keluar dengan rambut yang lebih tersisir. Yang jelas jadwal mandi perempuan muda yang katanya bekerja di sebuah kantor perbankan di kota kami itu, memiliki jam mandi yang teratur. Agenda yang mulai dihapal penghuni laki-laki di luar kepala.
Sebelum pukul setengah tujuh pagi, ia pasti akan menenteng handuk kecil dan perabot mandi lebih dari cukup dalam keranjang plastik sewarna dengan baju mandinya yang pink. Warna yang seakan-akan telah menjadi hak mutlak perempuan berusia muda. Rambutnya sering digelung ke atas atau dibiarkan jatuh terurai. Ia pun sering kali menggigit sikat giginya sejak ia beranjak dari kamarnya hingga menghilang di pintu kamar mandi. Kami mengamati itu hingga amat detail.
Semua; saya, anak-anak muda, dan juga bapak-bapak yang menumpang tinggal di sini, paham dengan aturan mandi yang mendahulukan mereka yang bekerja pada pagi hari. Kamar mandi yang hanya disiapkan dua bilik memang tak cukup untuk belasan kontraktor kamar tiga kali tiga meter seperti kami. Tapi sejauh ini kamar mandi tak pernah menjadi masalah apalagi menimbulkan kerikuhan antar penduduk dari berbagai kota di pondok indah ini. Keadaan aman-aman saja.
Hingga perempuan ini datang dua bulan lalu. Awalnya, kami, khususnya laki-laki tidak begitu peduli dengan kedatangan perempuan muda ini suatu sore. Pikirnya ia hanya datang karena memiliki teman atau bertemu keluarga yang mengontrak di sini. Hal yang lumrah dan tak perlu dilirik penuh selidik.
Tapi begitu tahu bahwa ia akan menjadi penghuni baru, riuhlah anak-anak. Gaduhlah situasi yang semula hanya dipasung wacana dan tontonan monoton dari siaran televisi penuh sinetron. Demikian kami sering menyebut diri, padahal umur kami tak lagi pantas disebut anak-anak.
Aroma sabun atau sampo yang dipakai menggerus tubuhnya dari debu atau kotoran yang melengket di pori-pori begitu merusak imajinasi. Apalagi bila dari kamar mandi itu hanya terdengar bunyi kran yang mengalirkan air dari PAM, tanpa bunyi keributan air yang membasahi badannya yang semampai. Benar-benar situasi yang mengacaukan nalar penghuni atau warga di pondok ini.
***
“Pagi mbak…”
“Pagi dek…”
“Air baknya penuh mbak…”
“Makasih ya semua…”
Sapaan yang dikoor di sepanjang lorong menuju kamar mandi itu, disiulkan setiap pagi, atau juga sore bila permata hati itu melenggang ke kamar mandi. Perempuan muda itu hanya cukup mengangguk, atau bila ia sempat maka bibirnya yang ranum akan membalas sapaan vokal grup dari kami. Balasannya akan membuat laki-laki yang mengobral keisengan akan jumpalitan sendiri.
Tatapan matanya, betisnya yang putih, senyumnya yang membakar membuat anak-anak kos, baik yang tua atau muda berpesai-pesai dalam pikiran silang-selipat. Kacau. Tapi sejauh ini tak ada juga yang berani ngomong lebih panjang atau mengobrol meski hanya sejenak dengan perempuan muda yang ramah itu.
Sejak kehadirannya anak-anak jadi memiliki pekerjaan tambahan. Selain disibukkan dengan kekacauan dari kamar mandi, setiap pagi atau sore anak-anak juga seperti berlomba-lomba mengeluarkan atau memasukkan motor metic milik pemilik hidung bangir itu dari parkiran. Bantuan kecil-kecilan itu telah cukup menghangatkan ledekan sesama penghuni kos, walau yang punya motor hanya membalas jasa penuh pamrih itu dengan buraian senyum. Duh…
Dalam diskusi kecil-kecilan di sela waktu yang lowong dengan penghuni kos-kosan, kejadian ini kami sebut sebagai peristiwa teror yang lebih dahsyat dari penggrebekan teroris live di televisi. Kepanikan selalu terjadi setiap jam dinding di ruang tengah mendekati angka pukul enam tiga puluh pagi, atau tujuh belas sore.
Ibarat detasemen khusus kami selalu siaga memasang telinga lebih tajam dan penuh prasangka. Sebab obyek kami jelas satu arah, kamar mandi. Wewangian sabun khasnya yang berbeda dengan sabun murahan yang kami pakai memaksa kami menajamkan indra penciuman lebih tajam dari anjing pelacak.
Sebuah sudut yang disiapkan untuk kongko-kongko penghuni kos menjadi markas besar kami. Dari sinilah, rahasia kamar mandi itu dirancang hingga kaum ibu-ibu tak pernah tahu bahwa pondok berlantai dua itu dijalari hasrat yang tak pernah memeluk harapan.
Kehadiran perempuan muda itu memang belum terasa bagi ibu-ibu di sana, sebab ia hanya berada di kamar pada malam hari, dan tak ada waktu untuk menabur pesona ke setiap pintu hingga akan dianggap mengganggu stabilitas dalam negeri.
Siaran langsung dari kamar mandi, atau lenggak-lenggok di lorong kos menjadi terungku pikiran yang meneror nalar sehat untuk berpikiran melampaui langit-langit tripkles kamar-kamar kami. Setiap kepala kami dijejali beragam terminologi yang mengusutkan. Imajinasi yang liar tentu saja telah menjadi jaring khayal yang memaksa kehendak ingin bertemu di muara.
Ketika perempuan itu tak kelihatan beberapa hari ini, anak-anak kemudian berkumpul di hulu ketidak mengertian satu sama lain. Tak ada juga yang berani mengetok pintu kamar yang digantungi peringatan kata “KELUAR” itu. Tiba-tiba ada sesuatu yang terasa hilang dari keseharian kami yang seringkali begitu jenaka. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyusup diam-diam diantara tawa, dan gelak canda yang membuat ibu-ibu sering bertanya-tanya penuh kerutan.
Kamar mandi dengan dinding tembok putih itu sepertinya hanya sebuah tugu peringatan yang kehilangan patung tembaga. Ia tak lagi menarik dalam pandangan kami. Kamar mandi itu kehilangan roh yang menyemangati kami di setiap pagi dan menjelang senja. Kami kehilangan wewangian yang khas yang beterbangan memenuhi udara di pondok ini.
Pertarungan imajinasi diantara kami pun tak lagi setangguh gagasan saat suasana kembali seperti pada beberapa bulan sebelumnya. Ketenangan yang sempat gaduh dan terpelihara dalam rahasia pribadi dari amuk ibu-ibu, karena mengetahui suaminya saat menggempur mereka penuh peluh ternyata membayangkan perempuan dari kamar di ujung itu.
Menurut warga yang lebih tua, pertempuran malam diakui kaum bapak-bapak kian dahsyat di setiap fron yang tersisa kala perempuan muda itu menjadi bagian penting dari hunian yang mesti dibayar tepat waktu ini. Ia seperti suplemen yang tak perlu didorong dengan seteguk air. Senyumannya yang merontokkan bulu roma sementara ini dianggap sebagai jamu sedap malam, yang selalu menyisakan kuluman hangat istri mereka.
Sesungguhnya tak perlu ada yang mesti terasa aneh atau berubah pada laki-laki yang telah memiliki istri, sebab suasana yang hangat disetiap bilik kamar dapat dirancang dengan meramu cara teranyar dari sekian tahun bersama. Itulah yang sering didebatkan pelan-pelan di pojok ruangan sambil menunggu kapan lagi pemilik leher jenjang itu kembali ke kamarnya.
***
Dan, sebuah pagi yang tak biasa.
Guyuran air dari bilik itu disiramkan seperti yang terekam di benak kami telah pulang. Wewangian dengan aroma kamar mandi yang kami nanti-nantikan kembali disemburkan ke seluruh memori yang dijebak saru. Senandung kecil dari kamar mandi itu pun menggelorakan semangat yang sempat pergi.
Sandal jepit di depan kamar yang kami hapal pemiliknya membuat pikiran berubah sengit. Lorong-lorong pikiran kini dijejali bualan kata yang meradang. Entah sampai kapan… (*)
Mamuju, 30 Oktober 2009.
Pukul 09.00 Wita.