“Jalangkote Loppaq Mararas” Saksi Bisu Dalam Dialog Kebudayaan

Laporan : Karmila Bakri

Menalarkan kebudayaan itu hak kemerdekan tiap-tiap individu. Membincang tentang kebudayaan senantiasa kita jumpai di setiap perkumpulan-perkumpulan. Baik itu dalam even formal seminar hingga di ruang-ruang santai.

Nah, lewat diskusi publik bertajuk kebudayaan yang diadakan oleh lembaga dan komunitas, yakni Muqim Patappulo Institute, Lembaga Inspirasi dan Advokasi Rakyat, Sapobaca Todakka, serta Yayasan Anak Lontara Nusantara (ALTAR).

Gagasan ini, lahir karena kesepahaman bersama bahwa kebudayaan adalah sebuah kebutuhan.

Berangkat dari keresahan bersama tentang pentingnya menemukan kebudayaan, maka lahirlah sebuah forum sederhana. Pada tanggal 30 Juni 2019 diskusi diadakan di jalan Andi Depu, Kelurahan Pekkabata, Polman. tepatnya di Perumahan Marwah Green Land, Blok A. No.2.

Tema diskusi tentang mengenal kebudayaan, pemantiknya adalah Subaer Sunar salah satu pegiat kebudayaan dan aktivis gerakan yang banyak bersinggungan dengan lingkungan masyarakat. Dimana diskusi dipandu oleh Jamaluddin dan notulennya adalah Nurfasirah.

Dalam ruang diskusi dihadiri pula oleh dua Komisioner KPU kabupaten Polman, Muslim Sunar dan Munawir Arifin, Pegiat Seni, Pegiat Literasi, kawan-kawan dari Gusdurian, Ansor, LAPAR, serta beberapa mahasiswa dari IAI DDI Polman dan mahasiswa Unasman.

Turut mewarnai diskusi dimana tumpahan Ilmu dan pengalaman teracik hingga membincang kebudayaan semakin berwarna.

Subaer Sunar mengatakan, kebudayaan adalah bagian kecil dari aktivitas manusia dan semua orang bisa mendefinisikan kebudayaan.

Adapun tujuan kebudayaan, menurut Subaer, sebagai landasan berpikir dan bertindak, fungsionalisasi kebudayaan, sumber-sumber pengetahuan budaya, dan pranata sosial yang mana ciri-ciri fungsional itu berkaitan erat dengan norma-norma sosial.

Pertautan antara kebutuhan biologis dan kebutuhan sosial melahirkan kebutuhan adab. Kebutuhan adab ini menjadi pertanda bahwa hakikat kita ini adalah manusia atau bukan, dimana nilai-nilai etika dan moral menjadi penanda bahwa manusia adalah makhluk sosial.

Suguhan Jalangkote Loppa Mararas, saat Dialog Publik Bertajuk Kebudayaan

Kebudayaan itu adalah bagian dari kebutuhan, rasa adil dan terbukanya ruang ekspresi. Pemantik menambahkan contoh kasus subjektifitas. “Bapak Baharuddin Lopa pernah ditanya kenapa kau sangat berani memasukkan orang-orang China ini ke dalam penjara, dia dengan tegas mengatakan saya orang Mandar,” katanya.

Pernyataan ini adalah eksperesi kebudayaan dimana beliau tidak mengatakan ia orang Islam. Keberanian ini melekat dimana asal dirinya berada, sehingga dalam konteks ini kebudayaaan menjadi landasan berpikir dan bertindak.

Sesi meracik gagasan dari peserta diskusi tersaji begitu berwarna, ditambah menu jalangkote Loppa anna mararas. Menu ini semakin membuat peserta forum berdialog dengan suasana keseruan. Namun jalangkote ini apakah bagian juga dari kebudayaan. Serumput kopi hitampun terseduh hangat.

Jalangkote loppa anna mararas adalah produk olahan rumahan yang dipasarkan sendiri. Dimana penulis melihatnya ada konsep kebudayaan didalamnya. Istri yang membuat sementara suaminya yang mobile memasarkan sesuai pesanan.

Sedikit melirik menu jalangkote, menurut Muliadi yang juga turut serta sebagai peserta diskusi mengatakan, “Usaha ini Alhamdulillah biasa mendapatkan omset 200.000 per hari, jika pelanggan banyak yang memesan sesering mungkin dia membantu istri membuat. Nah senada dengan pola hubungan suami istri ini di Mandar dikenal dengan konsep Siwaliparri (budaya saling berbagi keseimbangan peran dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga).”

Syuman Saeha pegiat seni melontarkan kebudayaan dengan istilah kebudayaan pisang. Simbolisasi kebudayaan pisang ini dimana pisang ketika masak, bisa dikreasikan dengan menciptakan olahan pisang goreng, loka sari, pisang keju, pisang ijo, dan lain-lain.

Aset kebudayaan adalah manusia dimana di dalamnya terjalin proses perkawinan, kebudayaan hari ini ia melihatnya seakan disisihkan oleh teknologi.

Munawir Arifin menambahkan bahwa kebudayaan harus lebih dititik beratkan pada maknawi, contohnya. “Sandeq sebagai inspirasi hidup, jalan hidup bukan sebatas even sesaat, bagaimana kemudian kita memperhatikan kehidupan passandeqnya, kebudayaan harus menjadi spritualitas bukan hanya dipandang sebagai seni “.

Menurut Muhammad Arif, “Orang-orang terdahulu sangat cerdas mengenal budaya meski membahasakannya melalui simbol-simbol.”

Kamaruddin pun berkomentar ” Budaya hari ini hanyalah dijadikan sebagai alat politik, melalui kebudayaan kita bisa menjadikannya sebagai strategi perlawanan tegasnya menambahkan, “.

Arif Mangopo juga menguraikan bahwa, Ada banyak jenis kebudayaan, namun terkadang orang sebatas melihat dari tampak luarnya saja, tradisi itu sendiri adalah perpustakaan besar, di mana didalamnya bukan banyak buku tetapi berisi keyakinan.

Hamsah menambahkan pula bahwa, budaya adalah cara pandang dan epistemologi berpikir, orang hanya melihat bungkusannya tanpa mencari history atau sejarahnya.

Kebudayaan sebagai ritus kehidupan, menjaga nilai-nilai kebudayaan itu penting. Sebab, kondisi realitas hari ini. Kearifan-kearifan lokal rentan untuk diklaim sebagai tradisi yang menyimpang. Budaya dan agama dua item yang sama-sama saling memesrai. Nilai-nilai budaya dan nilai-nilai keagamaan sebagai perekat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tercabutnya nilai-nilai sejarah adalah tantangan sekaligus ancaman keutuhan bangsa.
Diskusipun berakhir dan jalangkote loppa anna mararas telah menjadi saksi bisu bahwa di ruang diskusi kebudayaan ini telah lahir beberapa gagasan.

Salam kebudayaan.