Salah satu hasil akomodasi pendefinisian demokrasi terhadap tingkat perkembangan masyarakat adalah semakin tergesernya kriteria partisipasi langsung rakyat dalam formulasi kebijakan, yang menjadi kriteria pertama Pericles, yaitu model perwakilan. Selain itu penempatan posisi dan peran penguasa atau negara juga senantiasa mengalami pendefinisian ulang, bergeser dari posisi dan peran “penjaga malam” atau “pemadam kebakaran” ke arah posisi dan peran yang lebih besar dan menentukan (Eef Saefullah Fatah, 1994:5).
Samuel Huntington mengidentifikasi tiga gelombang demokratisasi dalam sejarah manusia. Gelombang pertama antara tahun 1828 hingga 1926, gelombang kedua tahun 1943 hingga tahun 1962, Sejak tahun 1974, menurutnya, dunia memasuki gelombang ketiga demokratisasi dengan lebih banyak lagi negara menjadi demokratis. Gelombang demokratisasi ini juga diikuti arus balik di mana beberapa negara yang telah menjadi demokrasi kembali menjadi otoriter.
Kendati demikian, gelombang demokratisasi selalu datang dan lebih banyak negara menjadi demokratis. Demokrasi, meskipun ada arus balik, adalah suatu yang tak terelakkan dan bakal hadir bagi semua negara.
Berbagai dokumen sejarah menjelang Proklamasi Kemerdekaan Agustus 1945 menunjukkan bahwa semangat mendirikan negara Republik Indonesia didasari oleh sedikitnya 3 hal, yaitu keadilan sosial, persamaan kedudukan warga negara dan tentu saja, kebebasan warga negara. Seperti dikatakan oleh Soekarno pada Pidato Pancasila di depan Sidang BPUPKI 1 Juni 1945, “Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”
Periode menjelang dan selama revolusi kemerdekaan itulah ibarat musim seminya demokrasi di Indonesia. Berbagai gagasan tumbuh dan berkembang dengan berbagai varian pemikiran tentang Demokrasi. Tercatat tokoh-tokoh bangsa ketika itu pada spektrum aliran pemikiran kiri, antara lain, Sjahrir, Hatta, Tan Malaka, Soekarno, Musso, Semaoen, dll. Begitu dominannya pilihan progresif ketika awal republik saat itu, sehingga spektrum politik konservatif pun “terpaksa” meminjam banyak jargon progresif untuk menjual idenya di kalangan rakyat.
Sayangnya, musim semi itu segera disusul musim gugur pemikiran-pemikiran demokrasi. Sejarah “Politik Gagasan” terinterupsi oleh eksperimentasi negara robotik ala Orde Baru. Rakyat menjadi robot-robot yang harus mematuhi “buku manual operasional” negara di bawah jargon pembangunan.
Kaum intelektual tak lebih berperan hanya sebagai legitimator dari kebijakan-kebijakan rezim otoritarian. Pun penguasa ibarat mandor yang senantiasa memantau jalannya para robot dalam derap pembangunan ekonomi. Pada periode itulah “Politik Gagasan” MATI SURI.
Gagasan-gagasan progresif dihantui label “komunis” dan “kiri” yang dapat berakibat fatal bagi yang menyuarakannya: di penjara, ditahan tanpa proses hukum, dibuang, dan bahkan dihilangkan. Itulah yang dimaknai sebagai babak “deideologi” sebagai bagian paket floating mass dan depolitisasi. Suatu karakter khas rezim orde baru yang mencoba melakukan penyeragaman dalam skema besar korporatisme negara. Korporatisme negara membawa Indonesia menjadi teknokratis semata. Berbagai kebijakan dijalankan semata-mata untuk pragmatisme pembangunan.
Kebijakan disusun bukan karena landasan sistem nilai secara kontekstual, melainkan melulu dirancang dengan pertimbangan efisiensi, efektifitas, terkendali dan pragmatis semata. Ideologi, dengan demikian menjadi seonggok barang haram. Kini, pasca reformasi, keran liberalisasi dibuka. Berbagai gagasan muncul, bahkan hingga bentuknya yang ekstrim, yaitu liberalisasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang kerapkali mengabaikan sistem nilai yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat dan bangsa Indonesia. LANJUT KE HALAMAN 4