Oleh: Ichsan Sahibuddin (Rakyat Jelata)
“Orang yang merasa kesepian karena jalan fikirannya tidak sama dengan kebanyakan orang di sekitarnya, terpaksa berkompromi, berpura-pura menganut pola pikiran mainstream, sependapat dengan suara mayoritas. Padahal para pejalan sunyi punya mimpi, cita-cita, idealisme yang terpaksa mereka pasung.” (Merry Magdalena, Pejalan Sunyi)
“Pilpres, Pemilu dan Pemilukada” dianggap sebagai sebuah pesta demokrasi, yang seringkali dipaksakan untuk diyakini menjadi sebuah aksioma. Bahwa inilah juga “Pestanya Rakyat”. Sejujurnya terlalu sulit merentang bangunan logika bahwa ketiga perhelatan itu sejatinya adalah sebuah “Pesta” dan bukan sekadar “Proses Demokrasi”.
“Pesta”, secara sederhana dapat dianalogikan adalah kegembiraan bersama oleh seluruh rakyat yang sejatinya merekalah pemilik sah “Kedaulatan” dan harusnya berdaulat. Lantas pestakah itu namanya, jika proses demokrasi ternyata tidak demokratis? Pada tiap perhelatan demokrasi, faktanya kedaulatan rakyat selalu terkapar, kalah dan menangis.
Bukankah semua slogan dan pernik-pernik simbolisme diteriakkan dengan begitu bersemangat bahkan hampir-hampir memutuskan urat leher para penjaja di sudut-sudut negeri. Tema yang berdaya magis itu dilantangkan atas nama “Kedaulatan dan Kesejahteraan Rakyat”.
Kemudian para “Yang Terhormat” (Presiden, DPR-RI/DPRD, Gubernur, Walikota / Bupati), yang kebetulan diberikan mandat atau legitimasi oleh rakyat, dan itu bukan pemberian kedaulatan tapi hanya kepercayaan. Lalu kenapa tema kesejahteraan rakyat harus selalu tersisihkan dalam pergulatan kepentingan kelompok/individu pada ruang-ruang sepi dan gelap itu?
Spirit “Reformasi” 1998/1999 ketika menumbangkan ORBA adalah penghapusan Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN), yaitu dengan membonsai hegemoni kekuasaan yang berlebihan, kemudian dilakukan pembatasan atau periodesasi, semata untuk membuka ruang-ruang demokrasi yang sehat, dengan memberi kesempatan yang sama pada setiap warga negara untuk diberi kepercayaan oleh rakyat. Hanya saja kemudian di banyak tempat proses demokrasi itu kadangkala melahirkan “Anak Haram” bernama nepotisme.
Virus nepotisme itu ibarat “Bakteri Ganas” yang akan menggerogoti antibodi demokrasi itu sendiri, meski alibi dan apologinya bertumpu pada salah satu pasal di konstitusi kita bahwa, semua warga negara mempunyai hak politik yang sama untuk memilih dan dipilih. Tapi bukankah juga dikatakan dan diyakini bahwa kekuasaan yang menghegemoni dan mengakar, menjadi lahan yang subur bertumbuhnya virus ganas bernama “Korupsi” baik anggaran dan penyalahgunaan kekuasaan? LANJUT KE HALAMAN 2