In Memoriam Bang Ali:“Sang Tali Tasbih Kebudayaan“

M.Rahmat Muchtar

Bang Ali tak pernah menulis satu buku apapun, mungkin juga tak pernah membuat komposisi musik atau bahkan nulis puisi.

Bang Ali tak pernah membuat organisasi pemuda atau kelompok teater, karena sebenarnya anak-anak Tinambung, Mandar tahun 80-an lah yang melahirkannya sendiri dan Bang Ali penyulutnya.

Sepanjang hidupnya hanya punya satu anak dari ibu berdarah Jogja dan tak sempat menikmati punya rumah sendiri. Beliau juga mempunyai satu motor bebek crystal berganti honda karena irit katanya.

Bang Ali sangat jarang tampil di hadapan publik kecuali seingatku terakhir kali sebelum beliau meninggal tampil di hadapan masyarakat pada Pengajian Padang Bulan di Kasihan, Bantul, Jogja. Itu pun karena diminta paksa oleh Emha saudara rantaunya.

Bang Ali tidak pernah sebentar ngobrol atau diskusi bila kami melingkar rileks lepas dimanapun berada, meskipun teman ngobrolnya sudah ngantuk dan tidur.

Bang Ali sangat suka celana jeans dan kemeja lengan panjang namun tetap terkesan santai.

Beliau bagai gula dalam larutan hitamnya kopi yang tak disebut bila kita memesan minuman kopi, karena yang manis larut dalam pahit tidak mesti disebut, kecuali gula itu sendiri.

Bang Ali bukanlah akarnya Teater Flamboyant karena beliaulah yang menanamnya. Anak-anak muda tahun 80-an lah akarnya serta generasi berikutnya batang, ranting, daun, bunga dan buahnya.

Mungkin Bang Ali tak pernah satu pun membuat naskah drama atau bahkan jadi sutradara, karena beliau sama sekali tak pernah mau jadi seniman, katanya! Beliau sangat menjiwai tapak perjuangan Muhammad Rasul Allah yang selalu dan selalu dicontohkan sebagai spirit strategi berkebudayaannya. Terutama dalam hal perang Badar.

Bang Ali sangat tidak mau dikatakan sakit dimana beliau pada akhir-akhir hayatnya menolak tuk dibawa ke Rumah Sakit, dan tak mau memotong rambutnya yang ketika itu gondrong-gondrong tanggung. Katanya lagi, ia tak mau melampaui umurnya Nabi Muhammad seakan-akan ia tahu atau memang tahu bahwa sebentar lagi ajal memanggilnya.

Bang Ali paling getol mengompori semangat pemuda meskipun ia tahu bahwa misalnya kompor itu sudah rusak atau kehabisan minyak dan sumbu. Beliau mempunyai berbagai macam buku di kamar pribadinya, yang satu pun tak pernah ditawarkan kepadaku untuk dibaca.

Kata teman-teman yang lain, ia adalah sumur yang tak pernah kering meskipun musim kemarau dan tiap hari ditimba airnya, malah justru timba-timba itulah yang kurang serta para penimba yang letih. Bukan hanya anaknya yang satu, namun Bang Ali juga punya satu HP Nokia murahan yang diikat karet karena longgar chasingnya. Tapi nomornya sudah kuhapus.

Ada satu teman sekampungku namanya Sahabuddin Mahganna yang paling lihai meniru setiap gaya dan nada bicara seseorang, termasuk gaya Bang Ali dan Pak Nurdin Hamma. hehee..! Seakan-akan kerasukan rohnya Bang Ali bila ia melakonkannya.

Ada juga teman-teman yang suka lari, sembunyi menghindar bila Bang Ali datang, karena tidak kuat serius lama-lama ngobrol. Meskipun sebagian juga sok-sok kuat ngobrol padahal pantatnya sudah gatal untuk segera menghindar. Nda usah disebut namanya.

Bang Ali sangat tahu ruang psikologi serta kemampuan bakat masing-masing individu para pemuda di tiap komunitas khususnya di Teater Flamboyant, hingga mampu menempatkan dan menggali daya kreatifitasnya, meskipun seseorang awalnya sangat pemalu dapat menjadi percaya diri. Yang dulunya tidak bisa ngomong menjadi berani ngomong di lingkaran diskusi. Bahkan yang dulunya takut pentas menjadi haus pentas.

Bang Ali begitu lihai dan cerdas menggali, menggalang serta menyeimbangkan emosional suatu kelompok pemuda yang notabene nakal-nakal, bandel, tempramen, lalu menyalurkannya kedalam ruang telaga pergaulan kreatifitas seni yakni teater.

STPMD Jogja (Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa) adalah studi akademiknya sebelum beliau bekerja di staf Pemerintah Daerah Yogyakarta, telah berhasil ia terapkan melalui suatu media kelompok teater di Tinambung, Polewali Mandar.

Beliau telah menghabiskan seluruh tenaga, pikiran dan hidupnya kepada yang bernama kesetiakawanan sosial, kebersamaan berbuat, serta terus mendampingi dan menyirami tanaman generasi mahasiswa/i Mandar di Jogja dan Teater Flamboyant dari generasi ke generasi semasa hidupnya.

Sekali lagi bahwa Bang Ali tak sempat mempunyai rumah sendiri demikian pun Flamboyant tak pernah mempunyai rumah atau sekretariat khusus layaknya teater-teater modern, sekretariatnya ada dimana saja dan berpindah-pindah, layaknya jaman sebelum masyarakat menetap. Bisa dikatakan teater Bohemian.

Bang Ali sangat handal dalam memberikan sugesti kepada para pekerja teater hingga ia bisa optimis dan bersemangat meskipun dana serta soal terdesak lainnya belum beres, padahal terhitung seminggu lagi akan diadakan pentas. Namun alamiah dan kondisional sukses juga acara tersebut. Hal yang tidak bisa diterapkan pada strategi pementasan teater terkini di kota-kota juga desa.

Anak-anak Flamboyant awal yang tidak karuan sekolah formalnya dan dominan tak mengenyam kehidupan mahasiswa, mampu memnggunakan wadah teater sebagai ajang universitas alam guna belajar bersama untuk jadi apa saja di dalam masyarakat.

Bisa jadi pedagang, guru, sopir, kepala sekolah, kepala desa, wartawan, seniman, lurah, camat, pemimpin partai, pengusaha, polisi, ABRI, DPR, Bupati, bahkan Gubernur dan lain-lain.

Serius..!

Walau Bang Ali tak pernah menulis satu buku, tapi bisa dikatakan Flamboyantlah buku hidupnya.

Sungguh..!

Bang Ali memang hanya punya satu anak biologis, tapi sangat banyak anak-anak yang ia lahirkan di rahim Budaya Mandar melalui bundanya yang bernama FLAMBOYANT.

Betul-betul..!

Bang Ali memang tak sempat membangun rumah sendiri, tetapi ia telah membangun banyak rumah yang luas di hati kita masing-masing.

 

Bali, 2008

Foto : Fb. Zulkifli Ziddiq